Tidak terasa kita sudah sampai di pertengahan tahun 2017 ini. Waktu berjalan terlalu cepat sehingga aku pun belum sempat untuk melangsungkan mandi. heuheu. Baru setengah tahun berjalan, tapi sudah beribu masalah dunia hadapi, mulai dari ISIS yang semakin membrutal, berkembangnya isu-isu HOAX, dan yang paling hangat, terutama di Indonesia adalah konfrontasi atas nama agama dan etnis.
Saya setuju dengan pidato Presiden Jokowi dalam pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintahan. Di dalam kesempatan tersebut, Pak Jokowi menyatakan alasan mengapa Indonesia begitu tertinggal saat ini. Nah salah satu faktor terbesarnya adalah masyarakat Indonesia masih suka berkutat dan memperdebatkan hal yang tidak produktif.
Dan yang lebih menarik lagi, Pak Jokowi mengkomparasikan Indonesia dengan Amerika Serikat yang memiliki inovator bernama Elon Musk. Elon Musk merupakan inovator, sekaligus pengusaha, teknisi dan investor. Ia merupakan CEO dari perusahaan tekonologi SpaceX,Tesla Motor, Paypal dan berbagai perusahaan futuristik lainnya.
Nah kembali ke masalah di Indonesia, mengapa di Indonesia tidak bermunculan orang-orang seperti Elon Musk tersebut?
Dalam suatu wawancara tv, Elon Musk menyatakan bahwa apabila sains dan agama bersatu, maka tidak akan bisa berkembang. Sains dan agama adalah suatu hal yang berbeda. Meminjam istilah dari biological ternama Stephen Jay, yakni Non Overlapping Magistaria (NOMA), yaitu 2 hal yang tidak bisa saling tumpang tindih.
Melihat dia sebagai orang Amerika dan berkata seperti itu, menurut saya wajar saja. Tapi saya tetap berkeyakinan bahwa sains dan agama tidak bisa dipisahkan dan dengan hadirnya agama bukan berarti sains tidak bisa berkembang.
Harus kita mengerti bahwa perkembangan sejarah sains itu sendiri dipengaruhi oleh adanya agama dan selama perkembangannya beberapa kebudayaan menyatakan adanya keselasaran antara sains dan agama seperti yang terjadi di Andalusia. Orang-orang seperti Elon Musk hanya menitik beratkan sejarah peradaban barat dan gereja dalam menyimpulkan gagasan bahwa sains dan agama saling bertolak belakang. Nyatanya pada masa bani Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyah perkembangan ilmu sains berkembang sangat pesat.
Pada intinya, bagaimana bisa kita membicarakan Artificial Intellegent, Terraforming Planet Mars dan berbagai inovasi lainnya apabila masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa bumi itu datar dan memperdebatkannya.
Suatu hal yang tidak produktif bukan
Regards from 0
Saya setuju dengan pidato Presiden Jokowi dalam pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintahan. Di dalam kesempatan tersebut, Pak Jokowi menyatakan alasan mengapa Indonesia begitu tertinggal saat ini. Nah salah satu faktor terbesarnya adalah masyarakat Indonesia masih suka berkutat dan memperdebatkan hal yang tidak produktif.
Dan yang lebih menarik lagi, Pak Jokowi mengkomparasikan Indonesia dengan Amerika Serikat yang memiliki inovator bernama Elon Musk. Elon Musk merupakan inovator, sekaligus pengusaha, teknisi dan investor. Ia merupakan CEO dari perusahaan tekonologi SpaceX,Tesla Motor, Paypal dan berbagai perusahaan futuristik lainnya.
Nah kembali ke masalah di Indonesia, mengapa di Indonesia tidak bermunculan orang-orang seperti Elon Musk tersebut?
Dalam suatu wawancara tv, Elon Musk menyatakan bahwa apabila sains dan agama bersatu, maka tidak akan bisa berkembang. Sains dan agama adalah suatu hal yang berbeda. Meminjam istilah dari biological ternama Stephen Jay, yakni Non Overlapping Magistaria (NOMA), yaitu 2 hal yang tidak bisa saling tumpang tindih.
Melihat dia sebagai orang Amerika dan berkata seperti itu, menurut saya wajar saja. Tapi saya tetap berkeyakinan bahwa sains dan agama tidak bisa dipisahkan dan dengan hadirnya agama bukan berarti sains tidak bisa berkembang.
Harus kita mengerti bahwa perkembangan sejarah sains itu sendiri dipengaruhi oleh adanya agama dan selama perkembangannya beberapa kebudayaan menyatakan adanya keselasaran antara sains dan agama seperti yang terjadi di Andalusia. Orang-orang seperti Elon Musk hanya menitik beratkan sejarah peradaban barat dan gereja dalam menyimpulkan gagasan bahwa sains dan agama saling bertolak belakang. Nyatanya pada masa bani Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyah perkembangan ilmu sains berkembang sangat pesat.
Pada intinya, bagaimana bisa kita membicarakan Artificial Intellegent, Terraforming Planet Mars dan berbagai inovasi lainnya apabila masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa bumi itu datar dan memperdebatkannya.
Suatu hal yang tidak produktif bukan
Regards from 0