Saturday 30 December 2017

Bendera Damai

Aku menjelma ke sudut ramai. Menyelinap ke sebuah lambai. Berharap menemukan damai.  Yang aku namai persis namamu.

Sore itu kita pernah begitu saling mengenal. Sore itu kita berbagi kisah hingga terpingkal. Bahkan sempat-sempatnya kita menertawai luka berdua.

Kita pernah saling memuji. Dan saling mengagumi. Seakan kekurangan diri bisa dengan baik kita maklumi.

Sampai sadarlah kita. Pada satu titik kita adalah dua. Yang saling jatuh kepada cinta. Kita pernah berusaha menumbuhkan cinta. Dan merawatnya bersama. Berharap ia akan subur, dan kokoh sampai tua.

Kita selalu melewatkan banyak hal berdua. Seakan tanpa hadirmu aku tidak biasa. Terlalu sering kita bersama.

Bertemulah kita pada satu titik. Menancapkan bendera masing-masing. Berbalik ke arah yang kita pilih sendiri-sendiri.

Mungkin. Kita pernah begitu saling mengenal. Dulu. Kemudian. Aku dan kamu kini. Menjadi asing.

- Mpok Duren, 2017

Share:

Thursday 28 December 2017

Jangan Dibangunkan

Kau sendiri.

Hanya ada tembok dingin dan lampu redup. Ada ribuan suara yang ingin didengar. Mereka berbisik-bisik dan menanyakan banyak hal. Mereka berdesak-desakan.
Dan kau amat marah. Ingin menghentikan suara-suara bising itu

Sayangnya kau lelah, kehabisan tenaga. Tak ada satu katapun yang berhasil lolos dari bibirmu. Kata-katamu masih tersimpan rapi.

Kau terdiam, dengan amarah yang semakin mereda. Suara-suara bising itu perlahan menghilang. Aku tau. Kau hanya tidur. Terlelap.

Kau terbangun, seperti ada yang kosong. Entah kosong karena apa.

Kau memeluk bantal, ini terlalu hening pikirmu. Hening sekali bukan? Kaupun beranjak, melihat kondisi lampu yang semakin redup. Hampir gelap.

Kau mulai mencari-cari. Dimana mereka? Suara yang bising itu. Dimana mereka?
Ah sayang, mereka sudah terlelap didalam telingamu. Menyelinap didalam pikiranmu. Ya. Mereka sudah teramat pulas.

Jangan dibangunkan.

- Asrama, 28 Desember 2017


Share:

Monday 25 December 2017

Rumah

Pulanglah untuk menenangkan pikiran. Pulanglah untuk menyembuhkan rindu. Pulanglah untuk sekedar menengok rumahmu.

Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi. Perihal masa depan, siapa yang tau?
Ada yang pulang dengan hati utuh. Kemudian pergi lagi. Lalu pulang kembali dengan separuh hati.

Siapa yang tau banyak hal bisa terjadi saat pergi. Perubahan-perubahan yang dulu mungkin mustahil bisa saja terjadi.

Seseorang yang dulu dekat sekali bisa saling asing karena lama pergi. Tak ada jaminan. Tak ada yang bisa menjamin. Apakah ia tetap sama seperti dulu? Sebelum ia pergi?
Atau ia sudah berubah menjadi seseorang yang bisa saja aku benci? Karena pergi sendiri itu bisa mengubah hati.

Jangan takut.

Jangan takut untuk pulang ketika kamu tahu dia yang biasa pulang denganmu ternyata telah berubah. Jangan takut untuk kembali menata hati.

Kecewa itu pasti. Tapi jangan sampai lupa diri. Berbahagialah kamu masih bisa pulang.
Pulanglah agar kau tahu bahwa rumahmu masih sama sebagai sandaran dan pegangan untukmu berkeluh kesah.

- Yogyakarta, 25 Desember 2017

Share:

Thursday 21 December 2017

Desember Palsu

Tidak ada lagi hujan bulan Desember yang sehangat dulu. Yang ada hanyalah dingin dan sepi yang begitu panjang dan menikam. 

Tidak ada lagi secangkir kopi yang menagih diantara senja dan burung yang menari. Yang ada hanyalah secangkir teh yang bahkan enggan kusesapi.

Tidak ada lagi peluk yang hadir dikala rindu yang meronta ingin bertemu. Yang ada hanyalah lamunan sepanjang hari tak berarti. 

Desember yang tak lagi sama. Dan takkan terulang lagi.

Selamat hari Mama, semoga Mama bahagia di Surga :)

- Kota Batu, Akhir Desember


Share:

Pulau Dewata


Aku ingin beritahu sebuah cerita. 

Tentang hidupku yang hampir malam. Yang baru saja berpapasan dengan senja. Mungkin hari itu melelahkan. Rambut hitam menyerap matahari. Pilu yang terserap tekad. Namun langit telah menjadi saksi. Warna yang ia berikan adalah sebuah tanda.

Bahwa hidup akan lebih indah jika kita menikmati hal-hal kecil.

Diatas beranda kapal. Yang terombang-ambing di Selat Bali. Sembari menghisap rokok, kunikmati goyangan ombak yang mendayu-dayu. Mengerakkan tubuh. Menggetarkan jiwa. Memuntahkan isi. Yups, mabuk laut.

Mungkin saat itu dermaga bukanlah sahabatku. Karena setiap aku berada disana, yang ada hanyalah rasa gemetar, takut dan khawatir. Bagaimana jika aku gagal melewati polisi congak itu? 

Namun daun yang jatuh pasti akan terombang-ambing sebelum sampai ke tanah, senasib denganku yang harus memutar otak dan mencari akal agar dapat melewati polisi congak itu. Beruntung sekali aku memelihara makhluk super, yang menyetir pun tidak bisa, tapi SIM pun dapat.

Kuawali menginjak tanah dewata dengan kaki kanan, tak lupa kaki kiri menyusul kemudian. Menyusuri jalan yang berbukit-bukit, sambil sesekali menengok keindahan sawah model terasering yang sangat familiar di Bali. Kalbu menjadi tenang. Badan terasa ringan. Tak terasa, ketiduran. 

Aku terbangun gegara suara dentuman ombak yang keras sekali. Membelah karang. Membasahi pulau. Terlihat jelas beberapa manusia sedang menari-nari diatas gulungan ombak. Seakan ombak ganas itu adalah irama yang mengelilingi-nya. Dua instruman yang saling mengisi untuk menghasilkan nada yang indah. Surfing.

Ditepi pantai yang berpasir putih itu, berdiri beberapa bangunan elite yang konon katanya bernama 'resort'. Lengkap dengan papan nama yang bertuliskan Nusa Dua Beach and Surfing. Rupanya tempat ini adalah surga bagi para penantang adrenalin di lautan. 

Tapi maaf, aku bukanlah penantang adrenalin. Aku merasa tak tenang disini. Kepalaku mulai pusing. Berat sekali. Mungkin setelah ini aku akan pingsan. Dan iya.

Dan lagi-lagi aku terbangun, tapi bukan karena suara, melainkan karena aroma. Yups, aroma yang menusuk sampai rongga dada, meretakkan lambung dan menegangkan otot bawah. Aku mulai curiga.

Ternyata tak butuh waktu lama, aku menemukan biang kerok dari aroma indah ini. Apa lagi kalo bukan pusar. Lebih jelasnya lagi pusar bule. Lebih detailnya lagi pusar bule cewek. Nyaman dipandang. Nikmat dijilat, kata orang. Hush sudahlah lah, aku tidak sedang bercerita dewasa.

Didepan mataku terhampar lautan biru yang airnya asin, seperti air garam gitu. Dan dibelakangku terpatri tebing-tebing tinggi, yang tergerus dan bertuliskan: Pantai Pandawa. Lengkap dengan patung para tokoh pewayangan di sisi kanan kirinya. Eksotis sekali.

Tapi yang lebih eksotis adalah, pusar bule cewek.:)

Ohh Tuhan, terima kasih telah memberikan rezeki kepadaku disaat yang tepat. 

- Pulau Dewata, 21 Desember 2017




Share:

Sunday 17 December 2017

Bunga Dandelion

Kukatakan kepadamu, dengarkan baik-baik. 

Jadilah seperti bunga dandelion!

Dandelion tidak pernah membenci angin yang selalu menggugurkannya dan membawa serpihan kecil bunganya terbang tinggi ke angkasa. Terbawa kemanapun sampai angin menyinggahkannya di satu tempat. Di tanah yang gersang, tepi jalan yang terjal, diantara bebatuan. Bahkan ditengah himpitan semak duri.

Ia akan tumbuh menjadi bunga baru dan menjalani kehidupan baru. 

Jadilah sangat kuat!

Tidak selamanya kau akan tersenyum, adakalanya dunia memaksamu cemberut dan diselimuti amarah. Tidak selamanya hidupmu akan indah dengan warna-warni yang membentuk pelangi, adakalanya campuran warnanya berserakan dan membuat ketidak-aturan.

Tidak selamanya harapmu selalu tercapai, adakalanya ia mengubah diri menjadi kecewa yang memiluhkan. Terkadang harapan yang tinggi adalah belati yang sedang menyamar. Siapkan dirimu teriris olehnya.

Sekalipun dunia kerap tidak adil kepadamu, sekalipun orang-orang perlahan berpaling, semuanya datang tanpa peringatan. Pastikan pijakmu tetap kiat menopang. Tetaplah kuat hinga semua menyerah karena ketegaranmu.

Hingga semua sadar bahwa mereka tidak cukup mampu menjatuhkanmu. Sebab bangkitmu lebih sering ketimbang jatuhmu.

Dan ingat, jadilah seperti bunga dandelion!

Sebarkanlah kebahagiaan kepada semua orang. Ketahuilah, karenamu banya orang terbahagiakan. 

- Kota Batu, 2017


Hasil gambar untuk bunga dandelion

Share:

Friday 15 December 2017

Kehampaan Tanpa Batas

DIsatu waktu aku pergi berjalan. Diantara mereka para manusia yang berbahagia. Diantara mereka yang sibuk berbicara. Diantara mereka yang berfoto-foto bersama. Dan diantara mereka yang saling melepas rindu.

Aku dan kedua bola mataku melihat semuanya. Meski dibantu lensa tebal aku tetap bisa merasakan semuanya.

Yang sedari dulu menuju kehampaan tanpa batas. Berlari tanpa alas. Didunia yang begitu luas.

Heii ...

Aku menyapa di dalam mimpi. Karena realita tidak seindah yang dibayangkan. Aku sadar bagai memeluk bulan. Tapi aku pun tahu Tuhan bersama orang-orang yang tulus ikhlas mendoakan.

- Villa Bukit Sengkaling, 2017

Share:

Tuesday 12 December 2017

Perempuan Itu

"Disarankan untuk membaca Konspirasi Semesta dan Matahari terlebih dahulu"

Ketika berusia 20, perempuan itu menyadari ada keganjilan dalam dirinya. Suatu hari, perempuan itu mengetahui  bahwa hidupnya terancam duka sebab matahari di dalam dadanya hanya tinggal sebesar bola mata.

Perempuan itu tidak ingin mati dalam sepi. Ia berencana untuk mengisi lagi ke dalam dadanya sebongkah matahari. Tetapi, dari mana ia bisa mendapatkannya? Ia bisa saja mencuri matahari. Tetapi, orang-orang akan tahu bahwa matahari hilang, sebab mereka terbiasa mendongak keatas ketika siang datang.

Permpuan itu tidak ingin membuat onar. Tetapi apabila dadanya dibiarkan kosong tanpa matahari, ia takkan pernah mampu lagi untuk hidup bahagia. 

Pad akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk mencuri bulan. Bukankah bulan adalah cermin terbaik dari pijar matahari yang mengesankan? Lagipula, tak banyak orang yang peduli pada langit malam hari. Semua orang lelap. Semua orang lindap dalam kantuk dan istirah. Tak peduli apakah di langit malam bulan sempat singgah.

Seperti jantung, langit berdetak tak ada yang meilhat.

Pada malam yang ditentukan, perempuan itu naik ke lantai empat gedung apartemennya. Lalu menaiki tangga menuju langit, sekali dilempar, mata kailnya memagut bulan. Ditarik, hingga sampai dalam dekap.

Keesokan paginya, langit menggeliat seperti biasa; Seperti sedia kala. Dan seumpama luka, senyum perempuan itu semakin menganga. Tetapi ia tidak tahu bahwa di tepi samudera pasifik dan arktik, di pinggiran samudera hindia dan atlantik. Beribu nafas terhempas dibawah kibasan ombak lautan yang menderas.

Perubahan posisi bulan telah mengacaukan sistem arus. Melahirkan ratusan banjir, ratusan daerah anyir.

Bukankah itu adil?

- Embong Kembar, Desember 2017

Share:

Konspirasi Semesta dan Matahari

Kala malam menyambut, ditengah riuh sesak candaan teman-teman lelakimu. Kau memilih untuk diam rebah didekatku. Sesak katamu, cukup sudah lelah sudah. 

Kukira saat itu juga kau akan terlelap, tapi nyatanya mulutmu belum lelah berbicara. Kau mulai berbicara tentang konsep mengenai Tuhan. Yang menurutmu Tuhan adalah satu dan hanyalah satu, tidak bisa terkonsepkan--tambahku.

Dan terdiam kau berpikir sejenak sebelum menjabarkan hitungan-hitungan waktu yang meliputi alam semesta, perputaran planet, masa semuanya, masa kita sebagai manusia, mengenai siklus dan mengenai waktu.

Hitunganmu agak meleset. Disana aku menyadari sembari menertawaimu. Selarut ini masih bisa ya memikirkan tentang perhitungan alam semesta.

Konspirasi alam semesta ...

Kita tidk tahu menahu tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Yang pasti kelahiran akan selalu ditutup dengan kematian. Semuanya berjalan dalam sebuah siklus.

Begitu pula dengan yang disebut orang sebagai 'cinta'. Cinta saja tidak perlu mengharapkan balasan, jika berbalas itu sebuah keuntungan sendiri. Sekarang tinggal nikmati saja buah-buah dari cinta itu sendiri. Lagipula cepat atau lambat, manusia akan berpisah satu dan lainnya.

Kuharap semesta melibatkan kita dalam masa yang sama. Kuharap genggaman tanganmu malam itu bukanlah hal yang fana. Karena kini ku telah tenggalam dalam suatu bagian darimu.

Kenyamanan memang membelokkan. Tapi jika cinta, ya cinta saja. Cinta tak butuh pembalasan. Cinta tak butuh paksaan. Tapi aku hanya berharap kita berada dalam suatu putaran siklus semesta yang sama

Biar semesta bicara ...

Tahukah kau? Pada saat lahir, setiap orang memiliki matahari dalam dadanya?

Matahari yang mengisi penuh rongga dada. Menjadi sumber segala suka cita, simpul senyum dan gelak tawa. Matahari adalah hadiah keriangan dari semesta. 

Sayangnya matahari itu mengecil seiring bertambahnya usia. Itulah mengapa anak-anak adalah makhluk paling riang sedunia. Sementara orang dewasa adalah manusia-manusia murung yang lebih banyak meratapi nestapa. Terkutuklah orang-orang sok dewasa wgwg.

- Terminal Arjosari, Desember 2017


Lanjutan Artikel : Perempuan Itu

Share:

Saturday 9 December 2017

The Power Of Malang

Sulit sekali mencari kehangatan abadi di Kota Batu. Setiap saat selalu ada hawa dingin yang menusuk. Tak mengenal pagi dan malam, yang tak diundang-pun akan tetap datang. Mungkin ada beberapa solusi untuk menghangatkan badan. Meskipun hanya sebentar. Apalagi kalo bukan makanan khas Malang: Bakso.

Memang banyak sekali warung bakso di Kota Batu, dan kuputuskan untuk mampir di salah satu warung dekat Alun-Alun Batu. Di pojok pasar, sepi, tak terdegar riuh ramai wisatawan. Sangat nyaman untuk sekedar menghangatkan badan ini.

Yang menjual adalah seorang pria, mungkin sekitar 50-tahunan. Rambut mulai memutih. Badan sudah sedikit bungkuk. Faktor usia mungkin. Berpakaian koko rapi bak habis dari masjid. Ya dilihat sih beliau muslim. Bodo amatlah dengan agama yang dianut.

Singkat waktu, satu porsi pesanan baksoku telah tiba. Sambil makan perlahan, aku membuka percakapan dengan beliau. Ya tentu saja. Dengan tema yang sudah membumi di Malang Raya, apalagi kalau bukan Arema. Lah kok ndilalah tepat juga. Beliau ini adalah mantan korwil Aremania. 

Kami berbicara panjang lebar mengenai kondisi Arema masa lalu dan sekarang. Dan ketika beliau tau kalo aku mondok di Yogya, beliau langsung nyerocos kisah masa mudanya ketika awayday ke Yogya. Saat itu masih era Galatama dan bermain melawan PSIM. Dan apesnya, para Aremania kala itu ada crash dengan PSIM, sehingga tidak bisa pulang dan terpaksa bermalam di stadion. 

Lah kok ndilalah lagi Kapolda Yogya saat itu adalah wong Malang. Walhasil pak Kapolda ini memberikan bantuan keamanan dan  menyediakan tumpangan bis gratis bagi Aremania sampai ke Malang. 

Memang, kalo sudah ada panggilan jiwa, orang Malang akan keluar Malange. Huft

- Pasar Malem, 2017


Share:

Thursday 7 December 2017

Mengadili Persepsi

Entah mengapa malam ini terasa begitu berbeda. Apakah karena aku memikirkan sesuatu. Ntahlah, tak perlu menjawab, sebab isinya ada dalam kepalaku sendiri.

Aku yang duduk disamping jendela cafe tepat menghadap ke arah semesta dan ditemani secangkir kopi hitam dingin.

Kopi hitam yang banyak mengandung filosofinya sendiri, yang memiliki pesona akan rasa untuk dinikmati.

Apalagi aku yang mulai berimajinasi seandainya ada mama disini, disebelahku yang setia menemani.

Menunggu pagi serasa indah jika saling melengkapi. Bersama aku, mama dan kopi buatan kita. Tapi siapalah yang bisa menebak rahasia Ilahi. Aku selalu berdoa di penghujung pagi, agar Ilahi memberikan yang terbaik.

Aku baik-baik saja disini, walau tak sebaik dari diriku yang terbaik. Dengan sinar mata yang selalu pagi, dengan senyum yang menghujam urat nadi.

Lelaki yang terlahir dengan derap kaki kuda ketika belajar berlari. Tanpa pelana aku menikmati angin kemarau pagi hari.

Lalu. Suara selamat pagi dari mama. Yang terbawa oleh angin musim kemarau ini.
Mungkinkah ranting patah ini akan mengguritkan namamu? Sementara tanah ini, berbatu keras, dan berselimut debu tipis tak berarti. Tak mungkin aku bisa mengadili persepsi semu ini.

- CKYK, Desember 2017

Share:

Friday 1 December 2017

Tentang Aku

Aku yang harus kehilangan orang yang melahirkanku ketika makan masih disuapi.

Aku yang harus meninggalkan rumah kala jati diri tumbuh menjadi dewasa.

Aku yang harus mengatur debar untuk bangun kali pertama dan kesekian kalinya.

Aku yang harus berkali-kali mengatur nafas hanya demi keluarnya asap rokok.

Aku yang harus bersusah payah berdiri tegap disaat badan terinfeksi alkohol.

Dan aku yang harus bersusah payah untuk tidak berteriak kegirangan karena melihat kenyataan.

Aku, makhluk yang tak terbiasa tersenyum meski dalam kitabku itu ibadah.
Aku, makhluk yang berjalan tidak tegak meski permukaan jalan selalu rata.
Aku, makhluk yang terbiasa memikirkan orang lain meski orang lain tak pernah peduli.
Aku, makhluk yang selalu ingin menghilang tanpa jejak dari muka bumi.

Aku menangis, tapi tak ada yang tahu. Aku senang, pun hanya aku yang tahu.

Aku membenci, ketika hanya diriku yang terkucil. Tapi kelebihanku mungkin tak dimiliki orang lain.

Aku terkurung dalam sudut pandang hidup yang melelahkan. 

Inilah aku, bilamana kau membaca tulisan ini. Selamatkan aku!

-Palagan, Awal Desember (dalam pengaruh Anggur Merah)

Share: