Wednesday 29 November 2017

Ampuni Hamba Wahai Puan

Kulipat kalimat sajak kepadamu agar ucapku tak jadi serapah. Kias-kias kukikis habis serpihan yang menumpul - agar tak melukaimu lagi. Lukamu perkara lukaku.

Lalu bagaimana puan?

Kita tak pernah terpatri atau katamu sempat dalam sempit masa yang salah termaknai. Kita yang pura-pura bernapas dari paru-paru penuh sesak asap dalam desak himpit yang salah asumsi.

Kau yang teramat, maafku bukanlah sesuatu yang menyembuhkan kepergian.  

Lalu bagaimana puan?

Kau dan aku, bisakah kita sembuhkan? Mungkin jawabnya ada didalam bisumu selama ini.

Aku rasa harus berhenti. 

Berhenti mencari tujuan yang akan kusinggahi nanti. Berhenti berharap apa yanh telah datang. Mereka hanya sekedar mampir, bukan untuk menetap.

Aku rasa harus berhenti.

Bercerita tentang apa yang aku inginkan. Karena sebenarnya mereka tidak memperdulikan. Pada akhirnya yang kita miliki hanyalah diri kita sendiri. 

Jalani saja kehidupanmu hari ini, mengikuti arus yang akan membawamu pada tujuan pemberian Tuhan. Berhentilah berharap. Karena Tuhan maha membolak-balikkan kehidupan.

Cukuplah kamu dan Tuhan yang tahu akan mimpimu. Biarkan Tuhan dan semesta yang mengetahui isi hatimu. 

Bukankah Tuhan lebih dari cukup bagi kita?

Atau aku terlantur karena kekurangan kopi? Ampuni hamba wahai puan :)

- November, 2017






Share:

Monday 27 November 2017

Kulelapkan Tidur Sang Tuan


Akhir-akhir ini sang tuan banyak merenungkan tentang jatuhnya bintang, pagar, rumah, halaman dan nyamuk yang berngiang-ngiang di sekitar. Nyamuk buruk yang menghisap darah. Sekaligus perasaan rindu setiap malam. Yang hanya dapat disampaikan kepada bulan terang, dalam diam.

Manusia dan kejatuhannya tidak direncanakan. Setiap hari, bangun dipagi hari, tidak dalam kondisi sama. Tetapi. Jatuh karena seseorang yang sama di ingatan paling pertama.

Hampir seratus malam telah terlewati, namun tak satu rasa pun silih berganti. Sekuat-kuatnya sabar menanti, pasti akan runtuh pula nanti.

Mungkin semesta belum ingin memberi tahumu, tapi suatu saat sang angin malam akan menyampaikan pilu yang kini belum terdengar.

"Sungguh bodoh!", ucap sang tuan pada dirinya.

Namun apa daya sang tuan yang bodoh, mengubah rasa?

Mungkin masa lalu tak begitu menyakitkan jika semuanya jelas. Tak ada yang samar. Dan tak ada lagi pertanyaan. Andai.

Dahulu, sang 'adiratna' adalah halaman berisikan kumpulan sajak. Yang meluluhkan hati 'sang tuan'. Tapi ia terlalu rapuh, sangat rapuh. Sang tuan tak kuasa menahannya, ia tak sanggup.

Mungkin sudah saatnya sang adiratna menyadari, ia harus tahu diri. Bahwa ia bukan lagi adiratna sang tuan. 

Namun ia harus tahu pula bahwa buku itu tak lengkap tanpanya. Dan tak akan pernah lengkap lagi tanpanya.

Namun? Siapa sangka, bisa saja sang malam berhati dingin. Mungkin rindu, akan berujung tanpa ampun. Rindu yang memaksa tuan untuk merindu. Akan sajak yang pernah memberinya rasa setiap kali membacanya. Ia rindu rasa itu.

Lalu ia ingat, halaman itu telah dirobek dan dibuangnya, dikala ia tak kuasa menahannnya. Mana mungkin ia bisa membacanya kembali? Tetapi, akankah ia mencarinya kembali. Mungkin untuk membaca terakhir kalinya. Merasakan pilu yang dulu pernah diberinya. 

Namun membuatnya nyaman.

Terima kasih, sudah menjadi bagian yang tak terlepaskan di malam-malam tanpa beban. Diselasar kamar, dengan rokok digenggaman.

- November Akhir, 2017




Share:

Tuesday 14 November 2017

Bola Pencabut Nyawa

Dunia pesepak bolaan Indonesia kembali berduka, salah satu supporter klub ibukota, Persija Jakarta, terenggut nyawanya karena dibacok oleh oknum yang katanya dari Bobotoh Viking.

Saya sedang tak ingin menyalahkan ini itu, hanya saja melihat peristiwa yang terjadi di lapangan. Menunjukkan bahwa belum dewasanya sepak bola Indonesia. Baik dari sisi internalnya, maupun eksternalnya.

Setelah kemarin Bhayangkara FC resmi menjadi juara Liga 1 dengan penuh kontroversi di baliknya, sampai kejadian terbaru ini. Rasanya tidak ada obat yang mampu menyehatkan penyakit kambuhan ini.

Rivalitas dalam sepak bola merupakan hal yang biasa, sekaligus rumit. Apalagi jika menyangkut supporter kedua kesebelasan. Selalu saja ada korban yang menjadi tumbalnya.

Sejatinya, sepak bola adalah ajang prestasi bagi pemain dan hiburan rakyat bagi masyarakat yang menikmatinya. Yang berkewajiban menunjukkan kualitas fisik adalah orang yang bermain, bukan orang yang mendukung dibelakangnya.

Sebagai orang yang berdomisili di Yogyakarta, saya mengagumi supporter PSS Sleman: Brigata Curva Sud. Mereka berhasil menunjukkan jati diri mereka sebagai orang-orang yang memiliki daya kreativitas tinggi.Tidak peduli tim mereka menang atau kalah, yang terpatri dalam hati mereka adalah memberikan semangat kepada pemain di lapangan. Tak ayal mereka sangat dikenal di kancah Asia lewat kreasinya.

Syahdan, sebagai Aremania, saya juga bangga akan orang-orang Malang. Meskipun sempat termakan oleh kontroversi dualisme, mereka tetap setia mendukung tim kebanggaan. Bahkan sudah lama sekali saya tak mendengar Aremania membuat onar, semoga tetap istiqomah.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa masih ada chant-chant supporter Indonesia yang bernada rasis, apalagi ketika melawan rival abadinya. Sebagai bagian dari mereka, saya merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang lumrah, karena ketika kita menyanyikan chant tersebut, gelora jiwa kita lebih membara daripada menyanyikan chant yang lain. Yang pada akhirnya mempengaruhi mental pemain di lapangan, atau dalam istilah lain up mental dan down mental.

Tapi sebaiknya itulah batas terakhir dari sebuah rivalitas di lapangan. Selebihnya jadilah manusia seperti biasa. Jangan menjadi hewan yang buas setiap saat dan tak berakal.
Ingat, membunuh tak pernah dibenarkan oleh negara, bahkan semua agama.
Bangkitlah sepak bola Indonesiaku :)

Regards


Share: