Tuesday 28 January 2020

28 Januari 2020

Selama ini gunung yang pernah kudaki secara serius hanyalah Gunung Panderman. Dan hari ini aku akan kembali menaklukkan gunung tersebut bersama Icha, Muthim dan Rambu. Sebenarnya aku juga mengajak Anabele, hanya saja ia tak mendapatkan izin dari orang tuanya.

Gunung Panderman tak terlalu tinggi, namun medan pendakiannya tergolong sulit. Pasir, bebatuan, jurang, tanah yang licin, dan dinginnya udara Kota Batu menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Kami hanya membawa satu tenda, dan jujur, aku memang tak terlalu suka membawa barang yang banyak ketika ke gunung. Selain berat, aku juga tak ingin terlalu direpotkan.

Shubuh tiba kami sudah sampai di puncak Panderman. Cukup sepi, tidak seperti suasana terakhir ketika aku mendaki kesini. Tidak menunggu lama kami langsung mendirikan tenda dan beristirahat sebentar sembari menunggu fajar menyinsing. 

Ketika warna kemerahan telah muncul di sudut Timur, kami bangun dan bersiap-siap untuk memasak mie sebagai asupan sarapan pagi ini. Namun sial, beberapa menit kemudian kami diserbu oleh gerombolan monyet. Mereka datang tiba-tiba dengan jumlah yang cukup banyak. Mencuri semua persediaan kami. Kopi, mie bahkan rokok Halim dengan cepat dirampasnya.

Aku baru pertama kali melihat monyet di Gunung Panderman. Karena pengalamanku sebelumnya tidak ada monyet di gunung ini. Aku kaget dan rela tidak sarapan pagi karena stok persediaan yang ludes disikat gerombolan monyet.

Pukul 9.30 kami memutuskan untuk turun gunung karena sudah tidak kuat menahan lapar. Sepanjang perjalanan turun, kami masih harus berhadapan dengan kawanan monyet yang mencegat kami. Padahal kami sudah tidak punya makanan lagi. 

Setidaknya hari ini kami sudah di invasi oleh tiga jenis binatang. Pertama cacing-cacing berukuran besar ketika kami menuju ke puncak, lalu kawanan monyet pencuri, dan terakhir sekoloni tawon yang menghantui kami selama perjalanan turun kebawah.

Pengalaman yang menegangkan. 
Share:

Saturday 25 January 2020

25 Januari 2020

Entah iblis mana yang merasukiku. Aku merasa bukan diriku lagi. Ada aura jahat di tubuhku. Yang membuatku bertingkah layaknya setan kegirangan. Hari ini aku benar-benar buta hati, pikiran dan perbuatan.

Tolong maafkan dan selamatkan aku. Aku tersesat. Jatuh kedalam goa. Yang diselimuti lendir tak sedap berwarna merah.

Aku berdosa. Berikan petunjukmu Tuhan.
Share:

Thursday 23 January 2020

23 Januari 2020

4 hari ini aku berada di Jogja. Srawung kembali bersama teman-temanku di pondok-an dulu. Tampang mereka banyak yang berubah. Terutama gaya rambut. Kebanyakan dari mereka berambut gondrong. Aku merasa aneh dan sedikit risih melihat lelaki berambut gondrong.

Aku banyak menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang sekaligus menghampiri kontrakan yang dihuni sesama anak Mu'allimin. Burhan dan Konoha salah duanya. Aku juga sempat berdiskusi filsafat dengan Defqi Heru yang kebetulan ia merupakan mahasiswa filsafat di UGM. Tapi menurut pendapatku, pemahaman filsafatnya tidak terlalu mumpuni. Masih banyak hal yang perlu dia pelajari.

Selain itu aku juga mengamati perkembangan bisnis teman-teman di Burhan. Mulai dari jualan kaos, celana boxer, sepatu, kaos kaki, handphone, vape hingga jasa pencuccan sepatu. Kukira bakat bisnis benar-benar dimiliki oleh Akmal, Huda, Soffan dan kawan-kawan yang lainnya. Bagaimana bisnis dimulai, perkembangannya dan manajemen profitnya. Hanya saja aku belum melihat kedewasaan ketika muncul konflik di dalam bisnis tersebut.

Aku sempat pula bertemu dengan Farhan dan Iqbal, kawan Forum Cendekiawan Merah yang kami ikuti beberapa bulan yang lalu di Malang. Pembahasan kami tak terlalu jauh, seputar Muhammadiyah dan IMM. Usai bertemu mereka, aku pergi ke angkringan Bintoro. Sebuah usaha yang dikelola oleh sahabar karibku semasa SMA. 

Ia masih saja seperti dulu. Pemalu dan sedikit bicara. Perbedaan yang tampak jelas adalah rambutnya yang mulai panjang. Ketika SMA dulu aku memiliki geng yang beranggotakan 3 orang. Aku, Bintoro dan Bocil. Kadangkala ikut bertambah satu personil, yakni Mushandma. Kami semua sering disebut sebagai Trio Piyik karena badan kami yang kecil.

Cukup sedih juga tak bisa bertemu Bocil sehingga anggota kami tidak komplit. Ia sedang berada di Bandung karena kebetulan jadwal kuliahnya sudah aktif. Tapi tidak apalah. Selama di angkringan aku mencoba bernostalgia aktifitas kami dulu dan bercerita mengenai hiruk pikuk drama percintaan yang aku alami. Momen yang luar biasa.

Sebenarnya aku juga ingin ngobrol panjang dengan Mushandma. Ia adalah mentorku dalam urusan wanita. Sayang, kesibukannya membuatku bertemu dalam waktu yang singkat. Aku harus pulang tanpa sempat menceritakan kegelisahanku. 

Aku pulang ke Malang bersama Huda naik kereta. Baru pertama kali ini aku naik kereta perjalanan jauh. Dan rasanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Hanya saja aku sedikit was-was ketika melihat petugas keamanan yang berkeliling. Karena ditas aku membawa 4 botol minuman terlarang. Terlarang bagi golongan yang berada di jalan lurus.
Share:

Monday 20 January 2020

20 Januari 2020

Selamat datang di kawah candradimuka. Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Tempatku menimba ilmu selama 6 tahun dulu. Aku terpaksa kesini karena perintah orang tua yang menyuruhku mengambil ijazah. Padahal aku sudah bersikeras bahwa ijazah tersebut tidak bisa kuambil karena KTAM-ku tidak ada. Atau lebih tepatnya ditiadakan. Entah oleh siapa.

Aku pergi dari Mu'allimin dengan tangan kosong, lalu bersilaturahmi sebentar ke kediaman Mbak Ida sebelum bertolak menuju Tegal. Menghampiri Mbak Inun yang kebetulan dinas disana. Aku di Tegal hanya semalam, karena aku bertekad untuk kembali menikmati liburan di Jogja bersama kawan-kawanku dulu.

Aku berangkat naik bis, karena kereta menuju Jogja dari Tegal sudah habis. Dan bodohnya lagi, aku justru memutari Jawa Tengah untuk bisa sampai ke Jogja. Dengan pakaian seadanya, tanpa jaket, dan hanya membawa tas kecil. Aku kedinginan selama berada di bis.

Suramnya situasi terpaksa kunikmati selama berjam-jam. Mulai dari Tegal, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Semarang, Salatiga, Boyolali, Sukaharjo, Solo, Klaten dan akhirnya tiba juga di Jogja. Hampir sepuluh jam aku duduk di bangku bis, tanpa ada teman, dan baterai HP yang kritis.

Aku turun dengan selamat di pertigaan Janti, dan dijemput oleh Sulthon Tongat, kolega ku dulu.

Share:

Thursday 16 January 2020

16 Januari 2020

Akhirnya waktu yang dinantikan tiba. Setelah berkali-kali tidak menemukan jadwal yang tepat, hari ini aku dan Alliya pergi menonton film Lorong di Dinoyo Mall. Seingatku, aku terakhir pergi ke Bioskop 2 tahun yang lalu ketika masih di Jogja. Dan jujur, aku tidak terlalu suka ke bioskop. Aku lebih suka menikmati film di laptop. Gratis pula.

Film Lorong termasuk kedalam genre Horror. Tapi aku tak terlalu setuju film horror dengan alur semacam film ini. Ia bercerita tentang arwah orang yang mati kemudian balas dendam terhadap orang yang membunuhnya. Dibalut pula dengan suasana romantis. Percintaan khas remaja.

Alur membalas dendam kukira sudah terlalu mainstream di dunia per-filman. Aku lebih suka film horro yang menggunakan model seperti kerasukan maupun mengangkat kearifan setan di suatu tempat. Film seperti itu terasa lebih realistis karena banyak sekali contoh nyatanya di kehidupan. Terlebih lagi di Indonesia dengan nuansa klenik nya yang masi kental .

Sehabis nonton film, kami pergi ke Warung Upnormal untuk menyusul Hibban, Al dan Alindha yang terlebih dulu sudah berada disana. Aku baru pertama kali nongkrong disini sekalipun sering kali mendengar dan melewatinya.

Dan ternyata harga menu nya sangat luar biaa. Cukup untuk menguras isi dompetku. Ditengah rasa lapar, terpaksa aku memesan makanan dan minuman yang paling murah. Mengingat bulan Januari berjalan masih lama. Sehingga aku hari menyisihkan uang untuk bertahan hidup sampai bulan ini berakhir.


Share:

Wednesday 15 January 2020

15 Januari 2020

Kabar kurang meng-enakkan datang dari salah satu kolegaku di Bidang TKK IMM. Annisa, ia mengalami sakit dan harus dirawat inap di Rumah Sakit UMM. Terlahir sebagai manusia, tentu aku harus menunjukkan empati akan kejadian yang menimpanya. Aku, Alliya dan beberapa anak IMM sepakat untuk menjenguknya. Sekalipun jam menunjukkan waktu kunjungan telah berakhir.

Ia sebenarnya telah menunjukkan gelagat sakit semenjak Tadabbur Alam hari pertama. Tapi ia tetao bertekad dan berusaha untuk hadir karena Tadabbur Alam merupakan progam kerja bidanya. Kukira tekadnya sebagai kader IMM tak perlu diragukan lagi.

Usai menjenguk Annisa aku mengajak Alliya untuk ngopi dan ngobrol santai. Kami berdua berangkat menuju Zona Coffee 2 sambil berharap ada teman-temanku yang lain disana. Tapi ternyata disana sepi, kukira musim liburan membuat mayoritas mahasiswa pulang kampung sehingga kompleks perkopian Dermo nampak sepi, tak seperti biasanya.

Kami disana tak terlalu lama. Tak sampai larut malam. Kami bercerita beberapa hal. Kehidupan, kuliah dan kaderisasi. Terlalu biasa.




Share:

Tuesday 14 January 2020

14 Januari 2020

Suasana batinku sedang kacau. Tapi aku tak mau bercerita apa penyebabnya. Karena kukira tidak ada urgensinya. Bahkan aku merasa bodoh kenapa bisa kacau seperti itu. Kebodohan yang terus kupelihara dengan sengaja, membuatku semakin bingung. Untuk apa itu semua. 

Aku mencoba menenangkan diri. Melupakan segala kejadian yang terjadi hari ini. Aku ajak Mas Yogi untuk menemaniku meminum beberapa tenggak Anggur Merah dan Mix Max. Beberapa sloki saja. Tidak sampai habis. Sengaja tidak kuhabiskan karena aku takut 'oleng' dan tidak bangun paginya. Karena aku terlanjur membuat janji jam 9 pagi mengantarkan Anabele ke Stasiun Kota Lama.

Cara berpakaian Anabele cukup unik hari ini. Didominasi warna kuning dengan sentuhan akhir sepatu Converse berwarna putih. Lucu walau aku tak terlalu suka warna kuning. Meskipun begitu aku benar-benar respect kepadanya karena mampu menepati janji yang dibuat bersamaku. Ia rela liburannya terpotong demi mengikuti Tadabbur Alam meskipun hanya beberapa hari.

Selamat berlibur.




Share:

Sunday 12 January 2020

12 Januari 2020

Teringat masa kecil dulu. Bermain dan bersahabat dengan alam. Hamparan sawah yang luas. Alang-alang yang tumbuh tinggi. Aliran jernih sungai Brantas. Percikan air terjun Torong. Suara 'engkes' di sore hari. Sarang 'undur-undur' di pijakan tanah. Udara dingin yang menusuk hati.

Aku membayangkan Tadabbur Alam seperti nostalgia masa kecil dulu. Bergulingan di rumput. Pemandangan lembah dan pegunungan. Hijau nan asri. Diselimuti kabut dataran tinggi. Aku kira dusun Giripurno tak jauh beda dengan kondisi kampung halamanku. Dulu.

Pembangunan yang berlebihan membuat kampung halamanku berubah. Sejak aku pulang dari tanah rantau, tembok dan beton bertebaran dimana-mana. Ladang padi dan sawi semakin terkikis. Debit sungai mulai mengecil. Air tak sejernih dulu. Semua berubah. Seiring melesatnya waktu. Dan serakahnya manusia.

Aku sangat bersyukur bisa ikut Tadabbur Alam. Walau disisi lain aku tidak mendapatkan substansi apa-apa. Minimal aku sanggup bernostalgia dengan kenangan dulu. 

Tepat hari ini pula Befi menunjukkan gelagat yang tak biasa. Benar-benar slowrespon. Selama 24 jam ia hanya membalas chatku 3 kali. Bukannya aku menaruh harapan. Hanya saja aku merasa ada yang aneh semenjak tersebar gosip di komisariat. Kabar burung yang justru membuat orang menjadi down.

Aku berpikir ia telah mendengar kabar tersebut. Sehingga ia perlahan namun pasti meninggalkan pelabuhan. Berlayar entah kemana. Dengan bekal dan kompas seadanya. Jauh dari radar dan menghilang. Aku benci dengan kata 'menghilang'. Tak jadi masalah jika ia berlayar mengarungi samudera luas, tapi ketika hilang dari jangkauan mercusuar tak bisa kubiarkan. 

Saat matahari terbenam aku turun ke Malang untuk menjemput Anabele. Tak kusangka ia benar-benar menepati janjinya. Padahal sebelumnya aku ragu ia akan kembali ke Malang dan ikut Tadabbur Alam. Tapi keraguanku patah. Dia terlalu hebat. Sepanjang perjalanan kami bercerita panjang lebar. Mulai dari permasalahan pacarnya, hasil akhir kuliah, dan rencana beberapa hari kedepan. 

Hari ini benar-benar ambigu. Antara sedih dan bahagia. Namun biasa saja.



Share:

Saturday 11 January 2020

11 Januari 2020

Kenapa Tuhan menciptakan manusia padahal Ia tahu manusia akan merusak alam?
Kenapa Tuhan memproduksi buah khuldi padahal Ia tahu Adam akan memakannya dan diturunkan ke bumi?
Kenapa Tuhan memberikan akal kepada manusia sehingga mereka bisa leluasa memporak-porandakan dunia?
Kenapa Tuhan tidak menurunkan kuasa kepada lingkungan agar mereka bisa melawan keserakahan manusia?
Kenapa Tuhan tidak menjadikan hewan dan tumbuhan setara dengan manusia agar mereka bisa berdiplomasi dengan ke-egoisan manusia?
Kenapa manusia? Kenapa manusia yang selalu disalahkan?
Tidak patutkah manusia menyalahkan alam?
Tidak etiskah manusia menyalahkan hewan dan tumbuhan?
Atau malah manusia harus menyalahkan Tuhan?



Share:

Thursday 9 January 2020

9 Januari 2020

Hari ini aku kedatangan tamu. Keluarga seberang provinsi. Lebih familiar dengan sebutan Trah Songo Loro atau Brigadista. Jangan tanyakan kepanjangan dari Brigadista. Aku saja masih bingung mengartikan kata sakral tersebut.

Kali ini saudaraku yang berkunjung ke Malang adalah Goplek, Ateng, Akmal dan Faiz Noto. Mereka adalah teman sepermainan ku di pondok dulu. Susah senang pernah kami jalani bersama. Mulai dari loncat pagar, kabur ke game center, nongkrong semalaman, pokoknya semua hal yang berhubungan dengan kehidupan pondok pesantren.

Kami ngopi santai di Cus-Cuss. Hadir pula keluarga SGLR ku yang kuliah di Malang. Ada Zakka, Fira, Taqy, Huda dan Bazi. Berkumpul dengan kawan lama memang momen yang menyenangkan. Menceritakan kembali pengalaman terdahulu justru mengaktifkan imajinasiku yang liar. Aku menjadi teringat ketika dulu menjadi santri. Dengan iman yang kuat dan tekad baja seorang kader Muhammadiyah. Menakjubkan. Dulu.

Tengah malam kami pergi ke kosnya Zakka. Tak lupa ritual rutin disana. Duduk melingkar. Tenang. Sambil menunggu giliran memegang segelas anggur. Suasana penuh dosa tersebut terasa sangat mengharukan. Nostalgia masa putih abu-abu memang momen yang sangat menarik. Pengaruh alkohol memang ampuh untuk membuat daya ingat kami tak musnah.

Cerita demi cerita terus mengalir. Tanpa henti. Ketawa lucu, ketawa mengejek, ketawa bangga. Campur aduk menjadi satu. Terutama Zakka, dia benar-benar dalam pengaruh alkohol. Ia bercerita lugas mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Entah fakta atau khayalan belaka, kami tertawa terbahak-bahak mendengarnya berbicara perihal legenda.

Dan semua akhirnya bubas ketika adzan shubuh berkumandang. Bertepatan pula kedatangan Pak Suyadi. Bapak kos yang menjaga tempat minum kami. Kami tidur pulas masing-masing. Dan terhanyut dalam mimpi nostalgia masa lalu.

Terima kasih telah mampir di Malang. Salam hangat
Share:

Wednesday 8 January 2020

8 Januari 2020

Selama jalan Ujian Akhir Semester 3.

Datang ke kampus untuk yang terakhir kalinya di semester ini. Itu pun cuman tanda tangan untuk mata kuliah Hukum Internasional. Tugas yang diberikan sudah kulibas semua. Jurnal, paper, proposal dan lainnya. Aku tak terlalu ambil pusing. Semua beban kuliah tinggal dijalani saja. Dengan tenang dan penuh kelicikan.

Aku patut mengucapkan terima kasih kepada Yogi Sensei yang membantuku dalam memberikan contekan tugas akhir semester. Jurnal dan lain sebagainya, aku hanya melengkapi jurnal yang telah dibuatnya dulu. Entah ini curang ataupun licik, yang penting kelar. Aman sudah.

Sehabis dari kampus aku sarapan bersama Befi. Kujemput dia dan ku antar ke kampus untuk mengumpulkan tugasnya. Lekas itu aku mengajaknya makan di Geprek Kak Rose. Kami bercerita panjang lebar sambil menikmati racikan bumbu pedas geprek. Tertawa riang. Saling bertatapan. Dan tak lupa nasihat-nasihat darinya tentang kehidupanku yang penuh kesalahan dalam segi agama. Menyentuh hati. Tapi apalah daya seuntai nasihat untuk hatiku yang mati ini.

Hari terakhir upgrading IMM. Semangatku menghilang. Patah arang. Aku ingin libur dari tatapan pintu komisariat. Bukan lagi masalah tanggung jawab sebagai pimpinan. Tapi tanggung jawab sebagai manusia yang butuh refreshing. Kuputuskan untuk datang sebentar ke komisariat, melabuhkan muka sebentar agar dikira hadir. Tak lupa kujemput Alliya. Sengaja kupaksa dia ke komisariat sekalipun dia tak ingin. Dan ternyata dia betah disana dan duduk khidmat sampai upgrading berakhir. Ketika adzan maghrib aku langsung kabur. Waktunya refresehing.

Kujemput Befi di kosnya, lalu kami nongkrong di Bang Breng Cafe bersama Hibban dan kawan-kawan circleku. Awalnya dia menolak, tapi rayuan halusku ternyata mampu meluluhkan penolakannya. Ku rasa dia sedikit terkucilkan disana. Obrolan kami kebanyakan berbahasa Jawa. Sedangkan dia belum paham bahasa Jawa. Diamnya lebih banyak daripada ucapannya.

Aku tak tahu harus gimana. Aku mengajaknya ngobrol, agar dia tidak merasa AFK disana. Dan semuanya berjalan seperti biasanya. Riang, bahagia, penuh cerita, dan setumpuk harapan. Entah menurut Befi. 



Share:

Tuesday 7 January 2020

7 Januari 2020


Beberapa hari kemarin aku intens memulai chat dengan Befi. Seorang kader baru di organisasiku. Memang, dia seangkatan denganku dalam hal akademik. Hanya saja kita dipisahkan oleh pilihan jurusan. Aku Hubungan Internasional. Dia Ilmu Pemerintahan.

Semua berjalan seperti biasa. Sebagaimana lelaki memulai obrolan dengan wanita. Ketika dia slowrespon, tak menjadi masalah. Aku juga tak terlalu berharap dia membalas cepat. Tapi lelaki mana sih yang tak bahagia ketika wanita yang dichatnya fast respond?

Pagi ini aku mengajaknya sarapan bersama. First meet kami keluar berdua. Kujemput Befi di kosnya. BCT. Nampaknya sudah menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan menengah keatas.

Kami makan soto di depan pertigaan Margo Basuki. Bukan kali pertama aku makan disana, hanya saja baginya ini yang pertama. Daging berkuah memang pilihan yang tepat untuk memanjakan perut di pagi hari.

Kami mulai bercerita kehidupan kami masing-masing. Bagaimana kondisi keluarganya, dinamika kuliahnya, isu-isu circle terdekatnya, kesibukan yang akan dihadapinya, dan harapan-harapan yang ingin dicapai.

Cukup menarik bercerita dengan Befi. Ia ramah, pencerita yang baik dan pendengar yang bijak. Beberapa kali ia memberikanku nasihat akan kesalahan-kesalahan yang sengaja kubuat dalam hidup ini. 

Kegagalan komunikasi keluarga, perdebatan minuman keras, kacaunya kelas kuliah, pragmatisnya pertemananku, dan hal-hal lain yang menurutnya tidak tepat. Sekalipun menurutku benar. 

Aku juga baru tau ternyata Befi memiliki bakat untuk menjadi penguasaha. Ia sering mengikuti lelang gula, yang mana gula tersebut akan dikirim ke rumahnya di Kalimantan untuk dijual lagi. Seorang perempuan, penggiat lelang. Benar-benar hal yang baru dalam khazanah kehidupanku.
Share:

Monday 6 January 2020

6 Januari 2020

Tak bisa berhenti untuk mengeluh. Hari ini benar-benar melelahkan. Hiruk pikuk kehidupan nan membosankan lambat laun menjadi pola hidup yang monoton. 

Terjebak dalam pusaran formalitas organisasi. Antara ingin mengabdi atau memberi inspirasi. Walau harus meng-alenasi kebutuhan biologis. Yang penting dapat mencapai visi dan misi.

Pemahaman kembali. Penguatan ulang. Atau bahasa kerennya upgrading. Tak lebih hanya upaya untuk memformalkan kembali apa yang seharusnya telah formal. Berproses dalam ke-formalitasan. Benar-benar memuakkan.

Berjam-jam berdiskusi mengenai kondisi internal organisasi. Memberi penyikapan secara organisatoris. Mengorganisir kembali kawan kolektif yang mulai layu satu per satu.

Kita terkutuk akan kata "organ". Persuasi dan agitasi sejitu apapun tidak akan mempan apabila organ tersebut telah mati. Mati secara organisasi. Mati secara naluri. Mati tetaplah mati.

Mungkin aku tipe orang yang hidup segan mati tak mau. Aku ingin berada di tengah. Moderat. Individu wasathan. Bisa mati dan bisa hidup. Biar angin laut yang menentukan.

Daripada semakin terjerumus kedalam lubang formalitas, kuputuskan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Rehat sejenak. Mengatur ulang ritme kehidupan. 

Anggur Merah mungkin bukan solusi terbaik. Tapi itu adalah solusi baik diantara pilihan "kebaikan" lainnya. Persetan dengan kata haram. Semua juga akan menjadi halal pada waktunya. 






Share:

Sunday 5 January 2020

5 Januari 2020

Senja ku hari ini kuhabiskan di komisariat ter-biasa saja. Rapat panitia teknis. Tak mungkin aku meninggalkannya. Jabatan ketua pelaksana mewajibkan ku untuk datang dan memimpin jalannya rapat. Harusnya aku mengatur jalannya rapat berdua, tapi Mba Icha, sekpel Tadabbur Alam sedang berhalangan hadir karena terjatuh di kamar mandi. 

Rapat berjalan tak terlalu lama. Hanya saja menunggu kehadiran teman kolektif yang membuatku kesal. Rupanya tepat waktu hanyalah utopis belaka. Semua bakal molor pada waktunya. Sudah menjadi hukum alam sepertinya.

Malamnya aku menepati janji Anabele untuk mengajaknya nonton film Lorong. Kujemput ia di kosnya dan pergi ke rumah saudaraku di deket kampus. Penghuni rumah tersebut sedang liburan ke Bali, dan kebetulan saja aku membawa kuncinya. Daripada kosong kugunakan saja untuk nonton film.

Mampir sebentar ke warung pinggir jalan untuk membeli pemuas kebutuhan biologis manusia. Makanan dan sebotol air. Kurang seru memang ketika nonton hanya terfokus di layar. Butuh gimmick-gimmcik lain agar suasana menjadi riang.

Sial saja, film Lorong ternyata belum ada di internet. Terpaksa kami nonton film yang lain. Phi Mak dan Jakarta Undercover. Horror dan thriller, dua genre yang memikat alur bernalarku. Khusus untuk Jakarta Undercover, aku jadi teringat suasana Malang dibalik layar. Pesta, minuman keras, narkoba, balapan liar, dan prostitusi. Kukira tabiat seperti itu tidak hanya di Jakarta saja, hampir di semua kota-kota besar -- yang sudah menikmati revolusi industri 4.0 -- pasti ada. 

Malam ini pula Anabele menyadari bahwa keyboard laptopku rusak karena beberapa hari yang lalu terkena tumpahan susu. Ia sempat menawarkan untuk mereparasinya, tapi kutolak. Bukan masalah konsekuensi, tapi tenggang rasa yang kumiliki. 

Ia minta maaf. Aku juga minta maaf. Sekalipun aku tidak bersalah. Aku takut kehilangan. Kehilangan ikatan emosional yang susah payah terbangun. Riak setitik jangan sampai merusak susu sebelanga.

Disisi lain, hari ini aku membuka chattingan dengan Alliya. Partner organisasiku. Seringkali aku menggodanya ketika bertemu. Bukan menaruh rasa, hanya saja aku merasa senang ketika merayunya. Maklumlah, pejantan tangguh.

Tiba-tiba ia memberikan pernyataan bahwasanya aku 'bacot'. Tak abis pikir, Orang sekalem aku saja dibilang bacot. Ketika kutanya apa alasaanya, ia menjawab pikir saja sendiri. Refleksikan. Aih tai kucing. Untung kamu Alliya. Kalau bukan, sudah kublokir kontakmu.


Share:

Saturday 4 January 2020

4 Januari 2020

Awal tahun bertatap muka dengan kewajiban seorang mahasiswa. Ujian Akhir Semester. Rutinitas paruh tahun yang mustahil kutinggalkan. Hanya saja semester ini banyak mata kuliah yang meninggalkan tugas take home. Tak perlu lagi sinau kebut semalam di tiap harinya.

UAS tak lagi momok menakutkan bagi penuntut ilmu. Begitu pula ketika dulu aku UN. Disaat yang lain bingung kesana-sini. Menambah semangat belajarnya. Aku tenang-tenang saja. Belajar ala kadarnya. Berdoa seperti biasa. Berdosa selayaknya.

Hanya saja aku terlena dengan ujian macam open book. Kemudahan seperti itu justru membuatku kehilangan semangat belajar. Tinggal fotocopy materi ujian, lalu bergegas berangkat. Tanpa membaca literasi yang lain. Dan ketika sampai ruang ujian. Zonk.

Jawaban soal ujian ternyata tidak ada di FC materiku. Bingung. Menguras otak seperti apapun tetap tak menemukan jawaban. Aku terlalu meremehkan ujian open book. Akhirnya aku menjawab secara spontan. Kutulis apa yang sempat muncul di dalam otakku. Entah benar maupun salah.

Sedikit kacau memang. Belum lagi tugas takehome ku. Aku sangat jengkel dengan anggota kelompok yang tak merasa memiliki tanggung jawab. Ini tugas kelompok, bukan individu. Jika kamu ga partisipatif, otomatis kelompokmu yang kena batunya.

Bukan masalah egois, tapi tanggung jawab kolektifmu mana. Rencana yang sudah dikonsep bersama jangan diabaikan begitu saja. Aku tak terlalu peduli berapa nilai akhirmu nanti. Tapi tolong jangan ajak anggota kelompokmu yang lain menjadi jelek pula.

Aku tak punya toleransi untuk hal semacam ini. Aku punya ego dan harapan akan nilaiku pribadi. Jika tak mampu berjalan bersama, ya kutinggal. Ritme hidupku maju, bukan mundur. Mungkin aku tetap akn mengulurkan tangan. Tapi jangan berharap 2 kali. Sekali kamu menolak, ya maaf saja. Selamat tinggal.

Semoga Tuhan mengubah kebiasaan tak becus-mu.


Share:

Thursday 2 January 2020

1 Januari 2020


Selamat menua umur dunia versi Masehi.

Aku hanya tidur beberapa jam. Sengaja kulakukan karena takut terlewat. Paginya aku ada janji pergi ke Mojokerto. Menjemput Anabele, sekalian srawung ke kediaman Ibnu. Dan ternyata mereka berdua dulunya satu sekolah ketika SMA. Dunia memang selebar daun kelor.


Pukul 9 pagi aku berangkat, mengendarai N-Max nya Verrel, sepedaku belum service, kukira ga bakal kuat kalau dipakai ke Mojokerto lewat Pacet. Jadi cari aman saja. Lagipula lampu kotaku masih mati. 

Jalanan Pacet sungguh eksotis. Pegunungan, lembah, memikat mata manusia. Keajaiban alam yang wajib dijaga. Beruntung sekali masih bisa menikmatinya. Kabut putih tak meragukanku untuk terus melangkah. Dengan keterbatasan mata, ditambah biasnya pandangan karena kabut, membuatku semakin bersemangat menyusuri tiap tapak jalan.

Tak perlu waktu lama, jam 11 sampai juga dirumah Iib. Istirahat sebentar. Mengistirahatkan pantat yang mulai pegal karena 2 jam duduk di jok. Selepas itu aku pergi ke rumah Anabele bersama Ibnu dan bertemu orangtuanya.

Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah Ibnu. Rumah yang sederhana. Seperti rumah masyarakat desa pada umumnya. Foto-foto momen keluarga terpampang di setiap sudut tembok ruang tamu. Dokumentasi memang masih menjadi hobi tiap keluarga di Indonesia.

Ibunya membuatkanku kopi hitam panas. Sebenarnya aku tak terlalu ngantuk. Tapi tidak apa-apa, butuh pondasi yang kuat untuk sebuah perjalanan jauh. Ya, setidaknya jauh menurut kacamataku.

Pulangnya aku dan Anabele melewati jalan yang sama ketika aku berangkat. Ia sedikit cemas karena pacarnya sedang nongkrong di salah satu cafe di daerah Pacet. Ia jadikan kain jilbabnya untuk menutupi sebagian wajahnya. Dan menurunkan kaca helm. Memalingkan wajah setiap melewati cafe di kanan atau kiri jalan. Semua berjalan lancar tanpa hambatan.

Sempat mampir juga di warung bakso, warung kopi dan masjid. Bukan masalah lapar, tapi tangan dan pantat ini ternyata juga butuh istirahat. Manusia tak sekuat yang aku kira. Sekalipun berakal, tak menjadikannya lebih hebat dari seekor binatang-pun.

Kami sampai di Malang lebih cepat dari biasanya. Dan aku langsung istirahat. Memejamkan mata sambil bergumam begitu baiknya aku. Tak memandang siapapun dia, kalo aku kesempatan membantu, kulaksanakan. Aku tak berharap mereka membalas kebaikanku. 

Kalaupun mereka membalas, ya alhamdulillah. Kalaupun tidak, tak menjadi masalah. Semua begitu fleksibel. Tapi, ada satu hal yang perlu diingat. Jangan menjatuhkanku di hadapan banyak orang. 

Sulit muncul kata maaf untuk perlakuan seperti. Bukan berarti tak mungkin.


Share: