Tuesday 31 December 2019

31 Desember 2019


Penghujung tahun. Apa yang terjadi tahun ini, rezeki maupun musibah. Cukup menjadi pelajaran untuk kedepannya. Dan sepertinya, tahun 2020 lebih menarik. Banyak rencana yang kubayangkan. Project-project tulisan, memperbaiki nilai akademik, menata pola hidup, dan mungkin, menambatkan pilihan hati. Aku ingin tahun depan lebih berwarna, sekalipun pada akhirnya nihil makna.

Aku ingin membatasi kebebasanku. Dan perempuan, mungkin salah satu solusi terbaik. Nasehat orang tua sudah tak mempan bagiku. Butuh tikaman baru yang mampu mencairkan hatiku. Aku ingin ada orang yang membantuku menyetir arah kehidupan. Sehingga tak jatuh kedalam lubang yang sama. 

2019.

Tahun yang biasa-biasa saja. Beberapa momen mungkin menarik, tapi tak terlalu berarti bagiku. Untung saja momen pergantian tahun sedikit membahagiakan. Pertama kalinya aku merayakan momen tahunan bersama kawan-kawan kuliah. Di kontrakan Hibban tentunya.

Dengan berbagai planning yang hampir gagal, tapi akhirnya Dewi Fortuna masih berpihak. Hujan tak menyurutkan semangat kami untuk berkumpul bersama. Ada Oma, Hibban, Adlina, Farhan, Rani, Ghozy, Verrel, Doan, Azka dan Intan. Bukan nama yang asing bagiku. Hanya saja tak terlalu dekat, dan malam ini terasa sangat dekat.

Jagung bakar, sosis bakar, rokok Halim, dan beberapa kembang api. Malam ini sungguh meriah. Tak peduli tetangga, yang penting bersenang-senang. Kuharap, penghujung tahun yang berbahagia, tetap berlanjut pada hari-hari selanjutnya di 2020.

Hari terakhir, peradaban sesat. 



Share:

Sunday 29 December 2019

29 Desember 2019


Aku tak bisa tidur. Terbayang masalah semalam tentang kepulangan Anabele. Memang dia akan pulang, tapi aku masih merasa bersalah. Entahlah


Pagiku kuhabiskan untuk membaca buku Orang Asing yang ditulis Albert Camus. Beberapa hari kemarin selera membacaku berada di titik kulminasi. Aku merasa malu ketika kalah semangat untuk membaca buku dari kader baru. Terutama Fay.

Tepat jam 9 aku mengerjakan soal UAS online Hukum Internasional. Tak terlalu sulit. Semua jawaban ada di internet. Menit berlalu dengan cepat. Aku pergi ke kontrakan Hibban untuk tidur.

Tapi tidurku terlalu pulas. Hingga rapat yang seharusnya kuhadiri terlewat. Padahal rapat itu membahas kondisi internal organisasi yang sedang down. Aku berniat menyampaikan beberapa informasi mengenai Umma, partner IMM-ku yang sedang jenuh. Bahkan ingin keluar dari struktural. 

Tiba-tiba saja Raju meneleponku, dan mengabarkan kondisi Umma yang sebenarnya. Ia mengalami kondisi penyakit komplikasi biologis dan psikologis. Ntah apa nama penyakitnya.

Ketika dia merasa tertekan, organ dalamnya pasti terkena imbasnya. Ia berniat mengakhiri karier nya di organisasi. Termasuk HMJ. Aku hanya bisa menyimak-nya. Sekaligus kaget mendengar kondisinya. Sore itu juga Umma direshuffle dari struktural IMM.

Malam hari ini begitu indah. Tapi tidak bagi Hibban. Ia berkelahi untuk kesekian kalinya dengan Adlina. Masalah sepele, karena chat yang membahas Fhira. Dan disana tercantum namaku pula. Aku hanya bisa menghiburnya, sambil menertawakannya bersama Oma dan Alindha.

Memang rumit hubungan percintaan. Makanya aku saat ini tidak ingin berpacaran. Bukan tak percaya cinta, hanya saja aku belum menemukan definisi cinta yang pas. Aku masih ingin bebas, tanpa ada yang mengatur. Keliaran masa muda tak ingin aku rusak hanya karena perempuan.

Dan Anabele, dia membalas chatku. Meminta maaf. Jujur, aku tak tahu apa salahnya. Justru aku yang seharusnya minta maaf. Aku menenangkannya. Memberinya nasihat bahwa ia harus pulang kerumah. Bertemu ibunya dan pacarnya. Memberikan setitik kebahagiaan dirumah. Mumpung ada waktu.


Share:

Saturday 28 December 2019

28 Desember 2019


Jam tidurku kacau. Bagaimana tidak, sampai jam 9 pagi pun aku belum bisa memejamkan mata. Semalaman aku pergi bersama Anabelle makan ayam geprek dan menjenguk Alliya yang sedang sakit radang tenggorokan. 


Setelah itu pulang untuk menyelesaikan tugas dan tidur. Tapi biadab. Tetangga sebelah kamar pagi-pagi memutar musik metal dengan volume tinggi. Sangat menganggu. Membuatku gagal tidur sampe jam 9.

Sorenya aku bangun dan siap-siap untuk internalisasi bidang. Tiba-tiba Anabele mengirim pesan padaku bahwa tiket keretanya untuk pulang gabisa dibeli karena email dan nomor hp yang dipakai untuk daftar adalah punyaku.

Aku bingung. Merasa bahwa aku yang menyebabkan itu semua. Aku paham kenapa Anabele ingin pulang. Dan aku ga ingin karena kesalahanku dia jadi gagal pulang. 

Kubangunkan Hibban untuk membantuku mencari solusi. Searching sana sini dan hasilnya tetap gagal. Tiketnya tetap tidak bisa dibeli. Padahal besok rencananya aku mengantarkan dia ke stasiun jam 9.30.

Kutawarkan diri untuk mengantarkan dia pulang ke Mojokerto. Tapi dia menolak. Anabele bilang temannya yg akan mengantarkannya pulang. Keputusannya sudah bulat. Aku tak bisa mengelak lagi.

Sekalipun dia tetap pulang, aku merasa ada beban yang mengganjal. Bagaimana perasaanmu ketika membuat orang lain kebingungan? Terlebih orang yang benar-benar ingin kau jaga.

Sedih. Dan marah pada diri sendiri.


Share:

Friday 27 December 2019

27 Desember 2019

Hari ini begitu rumit. Banyak kejadian yang tak ku duga. Dan semua berjalan begitu cepat. Tak terasa. Hanya kenangan yang tersisa. Kenangan yang buruk dan menyakitkan. Ingin menangis. Tapi aku sudah lama tak mengeluarkan air mata. Hatiku terlalu beku. Hingga aku lupa caranya menangis. Kejam memang. Atau mungkin aku terlalu baik dalam bersikap kepada semua orang.

Ketika aku merasa tersakiti, aku hanya pasrah. Diam. Seakan-akan itu adalah sebuah takdir. Mau tak mau aku harus menerimanya. Kesalahanku hanya satu, menikmatinya. Menikmati semua yang terjadi padaku. Baik, buruk, bermanfaat, maupun kata-kata lainnya, aku pasrah menikmati takdir tersebut. Aku benar-benar merasa menjadi orang Jawa tulen. Nrimoan.

Aku tau sikap tersebut tak sepenuhnya baik. Dan aku lupa cara untuk memberontak terhadap kehidupan ini. Zona nyaman benar-benar menjebak. Membunuh keaktifan dan daya kritis. Aku terlena dalam kenyamanan hidup. Sampai aku merasa di titik untuk apa hadir di dunia ini. Untuk memperjuangkan kehidupan kah? atau untuk memperindah cara kematian? Saat ini aku sepakat dengan apa yang dikatakan Albert Camus mengenai absurditas. Ketika hidup secara alami semakin maju, tetapi didepan kita terhampar bayang-bayang kematian. 

Malam ku sengaja ku habiskan untuk ngopi bersama teman-teman di Aquarius. Atau lebih tepatnya bersama kader organisasi ku. Ku jemput mereka satu per satu. Hal ini sengaja kulakukan karena aku ingin tahu dimana mereka tinggal dan ngobrol di atas motor ternyata lebih menyenangkan daripada di tempat lain. 

Disisi lain aku juga ingin mengantarkan mangga kepada salah satu temanku yang bernama Anabele. Karena aku telah berjanji memberikannya mangga, toh dirumahku ada mangga sisa. Mangga tersebut merupakan bentuk maaf ku kepada dia karena beberapa hari sebelumnya aku membuatnya marah. Aku mengingkari janjiku untuk mengantarkannya pulang sehabis nonton film, tapi aku sengaja mengurungkan niat ku untuk mengantarnya pulang. Dan akhirnya dia kuantarkan pulang jam 6 pagi. Sepanjang perjalanan dia terlihat murung. Sudah pasti, dia ngambek.

Tebakan ku ternyata benar, dia tidak seperti biasanya ketika ku jemput. Sepanjang perjalanan biasanya dia riang dan bernyanyi, namun kali ini diam membisu. Pasti ada sesuatu hal yang mengganjal. Dan sialnya lagi, sesampai di cafe ia menumpahkan susu di atas laptopku. Padahal aku dikejar deadline jurnal Eropa. Hatiku benar-benar jengkel. Tapi aku tidak bisa marah. Apalagi terhadap perempuan, terlebih dia adalah kader ku.

Aku tak ingin kehilangan kepercayaan yang telah terjalin. Kepercayaan sebagai seorang teman yang telah lama kubangun jangan sampai hancur gara-gara sebuah kejadian yang tak disengaja. Sekalipun aku tahu, ketika laptop terkena cairan susu pasti akan rusak. Dan biaya reparasi laptop tidak murah. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Aku berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, meskipun di dalam hati berkata lain.

Kemudian ia mengirim permintaan maaf kepadaku melalui WA, padahal ia duduk disampingku. Mungkin ia malu kepada teman-temannya untuk meminta maaf secara terang-terangan. Sengaja tidak kubalas WA nya, tapi aku langsung berkata kepadanya bahwa tidak masalah laptopku terkena susu. Aku meyakinkannya untuk tidak terlalu memikirkan laptopku. Dan ternyata berhasil.

Ia kembali terbuka, riang seperti biasanya. Bercerita mengenai pertengkaran dengan pacarnya akibat berbagai hal. Aku mendengarkannya dan memberikan berbagai nasihat perihal hubungan lelaki dan wanita. Aku merasa menjadi orang bijak masalah percinta-an. Padahal aslinya, aku tak paham sekali. Aku remidi masalah percinta-an. Tapi aku tak ingin terlihat bodoh, jadi kukeluarkan saja kata-kata bijak yang ada di kepalaku. 

Malam kembali menjadi indah. Ngobrol ngalor-ngidul bersama teman-teman lainnya. Mengantar mereka pulang satu per satu. Lelah yang menyenangkan. Terakhir, aku mengajak temanku yang kuberikan mangga untuk menemaniku makan dan mengantarkan obat kepada partner organisasi ku yang sedang sakit radang tenggorokan. Di sepanjang jalan aku bercerita tentang kisah kedekatan ku dengan salah satu partner di organisasi ketika kader baru dulu. 

Hanya berbekal sekresek mangga. Aku merasa mampu mengubah kondisi seorang teman. Dari yang sebelumnya cemberut, menjadi ceria kembali. Mungkin inilah yang dinamakan gastrodiplomasi. Tak sia-sia aku belajar di jurusan Hubungan Internasional. 


Share:

Wednesday 25 December 2019

Selamat Bersua Kembali

Mood manusia memang tidak ada yang bisa menebak. Harapan ku untuk tetap aktif menulis di blog ini sirna sejak setahun yang lalu. Semua perasaan, prasangka, cita-cita dan idealisme yang ku tuangkan disini hanya menjadi kenangan semu. Tekad yang kuat ternyata tak cukup untuk membuat manusia konsisten. Lingkungan dan pergaulan justru lebih berperan dalam mempengaruhi karakter tersebut. 

Di penghujung tahun 2019 ini, aku mulai merasa ada sesuatu yang ku abaikan. Sesuatu yang sudah lama kubangun, ku perjuangkan dari nol, ku rawat untuk tetap hidup. Aku merasa membohongi diri sendiri. Untuk apa berkomitmen kalau pada akhirnya aku mengkhianatinya? Aku tak menyadari bahwa daya ku sebenarnya cukup untuk mempertahankannya.

Tapi, ya beginilah manusia. Terlalu banyak membuat alasan. Hal yang irasional pun bisa dijadikan alasan. Menulis, sebenarnya bukan tentang momen, tapi tentang konsistensi. Aku terlalu menunggu momen. Berharap bahwa momen akan memberikan inspirasi untuk menulis. Sebegitu sakral-nya momen bagiku. Hingga aku lupa memaknai akan momen itu sendiri. Aku tenggelam dalam momen-momen yang kualami. Tenggelam jauh sampai ke dasar, merasa nyaman dan lupa cara untuk naik kembali. Aku termakan oleh momen.

Niat untuk mendokumentasikan momen hilang sudah. Angan-angan yang ku canangkan justru terhempas jauh karena ego ku sendiri. Aku mulai merasa bahwa kehidupan yang ku jalani cukup untuk ku selesaikan sendiri. Merasa bahwa tak ada gunanya bercerita, berbagi kisah kepada yang lain. Toh, hidup ini aku yang menjalani, bukan orang lain. Eksistensi untuk hidup aku sendiri yang mengaturnya. 

Sungguh bodoh! Bodoh sekali!. Aku telat menyadari bahwa orang lain juga butuh eksistensi. Sebagai makhluk sosial harusnya aku bisa menjadi pembicara yang baik. Tidak hanya menjadi pendengar yang baik. Aku lupa akan fungsi mulut untuk berkata. Aku selalu memendam apa yang kualami di dalam hati. Hatiku penuh akan cerita-cerita yang apabila tidak ku keluarkan mungkin tak akan lama lagi aku mengalami penyakit organ dalam. 

Aku merasa bisa menyelesaikan semua masalah yang ku hadapi. Sendirian, tanpa perlu bantuan orang lain. Memang itu tak terlalu menjadi beban, karena aku bisa menghadapinya. Aku merasa puas. Tapi puas ku hanya sementara. Masih banyak rasa puas yang kurasa harus dirayakan bersama teman-teman. 

Karena itu, aku berniat mengumpulkan kembali tekad ku yang berceceran. Aku ingin menghidupkan kembali blog yang telah menjadi media curhat ku setahun yang lalu. Menjadi pendengar yang setia, hingga aku merasa bahwa hidupku tidak sendirian. Mungkin sedikit aneh ketika aku bahagia bercerita kepada sesuatu yang tak bisa memberikan umpan balik.

Tapi aku punya chemistry tersendiri, aku merasa sangat puas menumpahkan segala keluh kesal ku dalam sebuah tulisan. Terlepas dibaca atau tidak, yang jelas hatiku tidak sesak dengan cerita-cerita yang ku pendam. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Desember. Terima kasih teman-teman sejawat ku yang menguatkanku untuk tetap menulis.

Selamat bersua kembali, semoga Tuhan memberkati.

- Tirto Taruno, 25 Desember 2019
Share: