Akhir-akhir ini sang tuan banyak merenungkan tentang jatuhnya bintang, pagar, rumah, halaman dan nyamuk yang berngiang-ngiang di sekitar. Nyamuk buruk yang menghisap darah. Sekaligus perasaan rindu setiap malam. Yang hanya dapat disampaikan kepada bulan terang, dalam diam.
Manusia dan kejatuhannya tidak direncanakan. Setiap hari, bangun dipagi hari, tidak dalam kondisi sama. Tetapi. Jatuh karena seseorang yang sama di ingatan paling pertama.
Hampir seratus malam telah terlewati, namun tak satu rasa pun silih berganti. Sekuat-kuatnya sabar menanti, pasti akan runtuh pula nanti.
Mungkin semesta belum ingin memberi tahumu, tapi suatu saat sang angin malam akan menyampaikan pilu yang kini belum terdengar.
"Sungguh bodoh!", ucap sang tuan pada dirinya.
Namun apa daya sang tuan yang bodoh, mengubah rasa?
Mungkin masa lalu tak begitu menyakitkan jika semuanya jelas. Tak ada yang samar. Dan tak ada lagi pertanyaan. Andai.
Dahulu, sang 'adiratna' adalah halaman berisikan kumpulan sajak. Yang meluluhkan hati 'sang tuan'. Tapi ia terlalu rapuh, sangat rapuh. Sang tuan tak kuasa menahannya, ia tak sanggup.
Mungkin sudah saatnya sang adiratna menyadari, ia harus tahu diri. Bahwa ia bukan lagi adiratna sang tuan.
Namun ia harus tahu pula bahwa buku itu tak lengkap tanpanya. Dan tak akan pernah lengkap lagi tanpanya.
Namun? Siapa sangka, bisa saja sang malam berhati dingin. Mungkin rindu, akan berujung tanpa ampun. Rindu yang memaksa tuan untuk merindu. Akan sajak yang pernah memberinya rasa setiap kali membacanya. Ia rindu rasa itu.
Lalu ia ingat, halaman itu telah dirobek dan dibuangnya, dikala ia tak kuasa menahannnya. Mana mungkin ia bisa membacanya kembali? Tetapi, akankah ia mencarinya kembali. Mungkin untuk membaca terakhir kalinya. Merasakan pilu yang dulu pernah diberinya.
Namun membuatnya nyaman.
Terima kasih, sudah menjadi bagian yang tak terlepaskan di malam-malam tanpa beban. Diselasar kamar, dengan rokok digenggaman.
- November Akhir, 2017
0 comments:
Post a Comment