Masih terpampang jelas. Aku terakhir kali mengirim surat itu adalah pada tanggal 1 Mei 2018. Surat yang kutulis tanpa harapan dibalas. Karena aku pikir untuk apa dibalas. Toh semua juga telah berakhir. 1 minggu berlalu. Benar, tanpa ada balasan. Dan aku menyerahkan semua hasil surat-menyuratku kepada pangkuan-Nya.
Yups, itu terjadi pada suatu masa. Saat aku merasa terikat rasa dengan seseorang. Meskipun ia tak mengerti. Aku memilih bungkam. Sebab aku ragu-ragu orang lain akan mengerti dan aku takut mendengar jawaban yang akan orang berikan.
Aku ragu sebab aku belajar banyak hal dari apa yang telah kulalui. Seperti matahari yang terbenam, klise menyebutnya senja. Orang menikmatinya dan mendadak puitis. Seperti itulah rasa percayaku. Tenggelam. Perlahan memudar menjelma malam. Aku menikmatinya, berat memang.
Ya inilah hidup. Banyak hal-hal absurd tak terduga dan harapan-harapan yang pupus. Beruntung kita dilahirkan sebagai manusia. Yang masih memiliki akal sehat bagaimana menyikapi segala kemungkinan hidup yang akan kita hadapi.
Terus terang, aku ingin sedikit bercerita. Tentang seseorang yang tak lagi membalas suratku. Seseorang yang pernah jadi candu bahagia. Iya. Aku terbuai dan tak bisa menolak. Aku tahu, percayamu tak bisa sama dengan percayaku. Dan aku sadar, sedikit kesamaan kita bukanlah sebuah cap jodoh.
Tidak ada sesal. Hanya saja aku kesal.
Tapi aku sulit sekali merasa kesal dengan makhluk yang satu ini. Perempuan payah ini memang tidak pantas untuk diberikan rasa kesal. Ia masih suci bak bayi yang baru lahir. Masih lugu dan polos. Wawasannya kurang. Tidak tahu apa-apa.
Beruntung dibalik kepayahan-nya ia menyimpan paras yang mempesona. Serta sifat kalem yang membuat orang feel like in the sky. Tidak percaya? Aku posting raut wajahnya dibawah deh. Yah, aku tidak bisa terlalu banyak menulis tentang nya. Ia terlalu baik sekaligus jahat. Ambigu memang. Aku tidak tega membeberkan semua yang kutahu tentangnya. Cukup aku saja. Hehe.
Terima kasih telah memberi perasaan bahagia karena disayangi. Disayangi walau sebatas teman, walau hanya serasa aku adalah kolega kamu, atau apa pun itu namanya. Terima kasih telah memberikanku bahagia. Walau sesaat. Walau tak panjang. Walau hanya untuk beberapa waktu.
Terima kasih telah menakut-nakutiku sekaligus membela membelaku, ketika aku rapuh. Terima kasih telah menertawakanku sekaligus menenangkanku ketika cemas. Telah ada, ketika aku ingin bahkan ketika aku tak bisa berharap kamu ada.
Terima kasih telah berpura-pura memarahiku, selalu mengomentariku, padahal hanya alasan agar kamu ada bahan untuk berbicara dengan saya. Terdengar terlalu percaya diri, diriku. Akhirnya, terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita, menyatukan kia dalam beberapa episode.
Salam dariku,