Saturday, 29 September 2018

Lelah

Susahnya menerima. Dari yang ada. Dari yang bersedia. Itulah yang membuatmu susah.

Bukan perihal melulu. Apalagi apa-apa yang terlalu. Tapi kenapa suka muluk-muluk. Ketika ada yang memudahkanmu?

Bukan aku memaksa. Tapi banyak yang berkata. "Hal kecil yang kau anggap sederhana. Nyatanya sering jadi luar biasa"

Kamu mungkin tak mau tau. Bahkan kamu berlari menjauh. Dari dia yang selalu menunggu. Dan mendoakanmu. Sebegitunya kamu?

Bermimpi itu memang tak apa. Tapi sayang, sadarlah. Yang kau cari ada di depan matamu. Lalu untuk apa repot cari jauh-jauh?

Suatu saat nanti. Ia pasti akan lelah. Dan bisa jadi. Kamu akan ada di-posisinya.

- 2018

Share:

Tuesday, 25 September 2018

Hempasan

Senja ini. Masih terngiang sebuah kata. Diiringi rintikan hujan yang tiba-tiba menganggu ketenangan di sela-sela buluh kata itu. Mengiramakan kesedihan yang terukir di jiwa. Membiarkan saja sajakku melayang.

Berlembar-lembar ku biakkan kata. Kuhimpun berjuta kata dalam angan. Ku rangkai menjadi untaian kata nan indah.

Tapi saat ku persembahkan untukmu, angin menghempaskannya. Menuju bintang dan mengejarnya. Tiba-tiba ingin ku ambil kembali dan ku kubur dalam diam.

Terhanyut aku dalam kelam senja, dalam senyap hujan. Terdengar deras arus sungai air mata. Yang tak dapat ku tahan dan perlahan. Keluar menggenan di wajahku.

- Akhir Oktober 2018
Share:

Friday, 21 September 2018

Takut Kalut

Rasanya takut. Terasa kalut. Dari banyak tulisan yang saya baca. Semua garis akan berlalu dengan tanpa kata lambat. 

Rasanya takut. Terasa kalut. Terpintas ujar terlambat sambil dibayang duka mendalam tersibak. 

Rasanya takut. Terasa kalut. Sat itu memang dihujami luka. Bukan lagi dalam lingkar manusiawi. Tidak ad lagi ikatan. Tidak ada lagi belas kasihan. 

Rasanya takut. Terasa kalut. Hanya ada bayang “kamu salah, kamu memang salah. Saya benar, saya memang benar”. Bukan lagi manusiawi. Semua berlalu. Semua tercecer habis-habisan. 

Hentak cercaan meredam. Kesunyian berkuasa mengambil alih. Tidak ada lagi tutur kata. Semua pihak memilih mencecar dalam diam. Diam, hingga tidak ada lagi ikatan yang tercetak jelas di permukaan. 

Share:

Tuesday, 11 September 2018

Jangan

Jangan lupa membawa ponselmu ke manapun kamu pergi. Karena kamu sering kali tidak membuka pesan dariku. Jangan lupa membuka pesan dariku. Karena kamu sering kali menumpuk pesan dariku, Hingga berbulan-bulan lamanya.

Padahal kolom chatk-ku masih bertengger paling atas di ponselmu. Jangan lupa membalas pesan dariku. Karena kamu seringkali hanya membuka pesan dariku tanpa membalasnya. Hingga membuatku berasumsi bahwa kamu, hanya tak sengaja menekan kolom chat-ku yang sebenarnya tak ingin kamu balas.

Jangan lupa membaca semua pesan dariku yang menumpuk di kolom chat kita. Jangan lupa membaca semua pesan dariku yang menumpuk di kolom chat kita. Karena kamu seringkali mengacuhkan apa-apa yang aku tuliskan dan malah menggantinya ke topik lain.

Ah, persetan dengan semua pesan dariku yang tak kunjung kamu balas. Sejujurnya yang ingin aku utarakan adalah. Jangan lupakan aku. Karena perihal diriku, kamu adalah pelupa yang paling handal.

- GKB 1 UMM


Share:

Friday, 7 September 2018

Kuberi Judul Bab Wafda


Masih terpampang jelas. Aku terakhir kali mengirim surat itu adalah pada tanggal 1 Mei 2018. Surat yang kutulis tanpa harapan dibalas. Karena aku pikir untuk apa dibalas. Toh semua juga telah berakhir. 1 minggu berlalu. Benar, tanpa ada balasan. Dan aku menyerahkan semua hasil surat-menyuratku kepada pangkuan-Nya.

Yups, itu terjadi pada suatu masa. Saat aku merasa terikat rasa dengan seseorang. Meskipun ia tak mengerti. Aku memilih bungkam. Sebab aku ragu-ragu orang lain akan mengerti dan aku takut mendengar jawaban yang akan orang berikan. 

Aku ragu sebab aku belajar banyak hal dari apa yang telah kulalui. Seperti matahari yang terbenam, klise menyebutnya senja. Orang menikmatinya dan mendadak puitis. Seperti itulah rasa percayaku. Tenggelam. Perlahan memudar menjelma malam. Aku menikmatinya, berat memang. 

Ya inilah hidup. Banyak hal-hal absurd tak terduga dan harapan-harapan yang pupus. Beruntung kita dilahirkan sebagai manusia. Yang masih memiliki akal sehat bagaimana menyikapi segala kemungkinan hidup yang akan kita hadapi. 

Terus terang, aku ingin sedikit bercerita. Tentang seseorang yang tak lagi membalas suratku. Seseorang yang pernah jadi candu bahagia. Iya. Aku terbuai dan tak bisa menolak. Aku tahu, percayamu tak bisa sama dengan percayaku. Dan aku sadar, sedikit kesamaan kita bukanlah sebuah cap jodoh. 

Tidak ada sesal. Hanya saja aku kesal.

Tapi aku sulit sekali merasa kesal dengan makhluk yang satu ini. Perempuan payah ini memang tidak pantas untuk diberikan rasa kesal. Ia masih suci bak bayi yang baru lahir. Masih lugu dan polos. Wawasannya kurang. Tidak tahu apa-apa.  

Beruntung dibalik kepayahan-nya ia menyimpan paras yang mempesona. Serta sifat kalem yang membuat orang feel like in the sky. Tidak percaya? Aku posting raut wajahnya dibawah deh. Yah, aku tidak bisa terlalu banyak menulis tentang nya. Ia terlalu baik sekaligus jahat. Ambigu memang. Aku tidak tega membeberkan semua yang kutahu tentangnya. Cukup aku saja. Hehe.

Terima kasih telah memberi perasaan bahagia karena disayangi. Disayangi walau sebatas teman, walau hanya serasa aku adalah kolega kamu, atau apa pun itu namanya. Terima kasih telah memberikanku bahagia. Walau sesaat. Walau tak panjang. Walau hanya untuk beberapa waktu. 

Terima kasih telah menakut-nakutiku sekaligus membela membelaku, ketika aku rapuh. Terima kasih telah menertawakanku sekaligus menenangkanku ketika cemas. Telah ada, ketika aku ingin bahkan ketika aku tak bisa berharap kamu ada. 

Terima kasih telah berpura-pura memarahiku, selalu mengomentariku, padahal hanya alasan agar kamu ada bahan untuk berbicara dengan saya. Terdengar terlalu percaya diri, diriku. Akhirnya, terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita, menyatukan kia dalam beberapa episode. 

Salam dariku, 




Share:

Wednesday, 5 September 2018

Egois


Egois adalah aku yang mengaku rindu sudah di ujung buku. Cerita yang aku tutup beku dan maaf adalah semu. Apakah aku pemaaf bagi diri sendiri, atau sebuah alibi ketidakmampuan diri. 

Menjadi api dan pergi atau lari dari keinginan berbagi sepisebab aku kacau selalu-lagi. Keinginan menyimpan cahaya pagi diantara gemerlap rembulan dini hari adalah cara-cara mencegah senja pergi dari hati yang terluka. 

Ini bukan salahmu. Aku hanya penyair yang terlampau penyayang. Sampai-sampai samudera lupa pulang ke pangkuan ombak yang hilang. Aku tidak lagi ingin harap. 

Sebab memoir memar telah berbuat onar kepada sepasang kita yang biadab menyikapi rindu-rindu penyabar. Kita tak butuh apa-apa, tidak perlu aku atau kamu. Tetapi perlu diri sendiri sahaja. Sampai senja sudah tidak membiru.

- Ayu Tantri, bersama Dhifa dan kawan Tjokroaminoto


Share: