Genap sudah 1 bulan tanpa interaksi. Bukannya malu, tapi memang aku tak mau. Untuk apa melanjutkan hubungan yang diriku sendiri sudah tidak ada perasaan?.
Dan aku sudah muak dengan keadaan ini yang memicu kekhawatiran dimana-mana. Maka kuputuskan hari ini untuk benar-benar mengakhiri. Seperti rencanaku sebelumnya, pesan ini kukirimkan lewat email.
Sudah lama kita tak berjumpa dan menjalin interaksi. Semoga kamu bahagia dan sehat selalu serta dimudahkan segala urusannya.
Terus terang berat rasanya menulis ini. Tapi jika tidak diselesaikan akan membuat anomali semakin lebar. Dan membuat hati semakin tak karuan.
Beberapa waktu lalu aku telah mengungkapkannya, tetapi kamu menolaknya dan tetap teguh pendirian. Maka dengan adanya surat ini, dengan berat hati aku tegaskan, bahwa aku menyelesaikan hubungan ini. Mohon maaf juga aku tidak bisa bertemu langsung.
Kulipat kalimat sajak kepadamu agar ucapku tak jadi serapah. Kias-kias kukikis habis serpihan yang menumpul - agar tak melukaimu lagi. Lukamu perkara lukaku.
Lalu bagaimana Alliya?
Kita tak pernah terpatri atau katamu sempat dalam sempit masa yang salah termaknai. Kita yang pura-pura bernapas dari paru-paru penuh sesak asap dalam desak himpit yang salah asumsi.
Kau yang teramat, maafku bukanlah sesuatu yang menyembuhkan kepergian.
Lalu bagaimana Alliya?
Kau dan aku, bisakah kita sembuhkan? Mungkin jawabnya ada didalam bisumu selama ini.
Dan aku rasa harus berhenti.
Aku yakin sebab aku belajar banyak hal dari apa yang telah kulalui. Seperti matahari yang terbenam, klise menyebutnya senja. Orang menikmatinya dan mendadak puitis. Seperti itulah perasaanku kepadamu. Tenggelam. Perlahan memudar menjelma malam. Aku menikmatinya, berat memang. Dan menghilang.
Ya inilah hidup. Banyak hal-hal absurd tak terduga dan harapan-harapan yang pupus. Beruntung kita dilahirkan sebagai manusia. Yang masih memiliki akal sehat bagaimana menyikapi segala kemungkinan hidup yang akan kita hadapi.
Tetes air hujan tidak pernah mengeluh untuk selalu jatuh. Memang air itu mati rasa dan lalu menghilang. Sama seperti sebuah hati, yang semakin lama semakin hilang rasanya kerena harus selalu bangkit dari lara.
Bukan perkara bagaimana semua hal indah dapat kembali lagi. Tapi, semua itu tentang bagaimana kita tidak membentuk masalah itu lagi dan lagi.
Ku katakan pada diriku "aku baik-baik saja". Sesering itu kukatakan dalam hati, yang tidak punya telinga melainkan rasa sendiri.
Coba lihat, dengar, rasakan. Ada apa denganku? atau kamu? Apa ini ulah semesta? atau sugesti dari sebuah logika?
Jika kusalahkan diriku sendiri, hatiku yang merasa kalau aku benar. Jika kusalahkan dirimu, mulutku bisu dan kaku tapi tak membiru.
Apa aku harus pandai menulis untuk menjelaskan sebuah alasan? Atau aku harus pandai bersandiwara untuk bisa berpura-pira?
Jadikan sebuah makna menjadi suatu pembela. Lupakan apa yang sudah tenggelam dan hilang. Namun masa demi masa untuk sekedar tahu bagaimana kita.
Kelak, waktu yang akan menjawab, untuk apa kita, bagaimana kita, sampai mana kita.
Cukup Tuhan yang berikan jalan. Cukup hati yang merasakan. Cukup menunggu untuk sebuah ketetapan.
Aku juga ingin meluruskan. Apapun yang terjadi setelah ini. Jangan menyalahkan dan membenci orang lain. Cukup salahkan dan benci diriku. Karena apa yang telah kita lalui hingga hari ini adalah urusan kita berdua. Tidak ada campur tangan orang lain. Bukan Sisil, bukan Anabele, bukan Salwa, bukan Icha, bukan Ria, bukan pula komisariat. Cukup salahkan dan benci diriku!
Perihal jodoh, itu sudah ada yang mengatur. Setidaknya aku tetap bersyukur karena telah mengenalmu. Pernah menjadi bagian dari hidupmu. Pernah menjadi sesuatu yang kamu sebut bahagia. Aku bersyukur pernah memiliki kesempatan itu bersamamu.
Dan akhir kata. Selepas ini, semoga kita bisa menjalin pertemanan sebagaimana biasanya. Sekalipun kamu membenciku atau bahkan memblokirku. Aku tidak akan mempermasalahkan itu. Aku tetap menganggapmu sebagai Alliya Safitri yang pernah kukenal.
Sekali lagi aku meminta maaf kepadamu karena belum bisa menjadi pribadi yang baik. Belum bisa menjadi sosok yang patut dicontoh dan dipertahankan. Hingga meninggalkan dosa yang teramat besar kepadamu. Sekali-lagi mohon maaf.
Tak lama kemudian dia menelponku dan mengajak bertemu langsung. Sempat ragu namun aku harus berani mengambil keputusan. Meski penuh haru, namun akhirnya selesai sudah.