Sunday, 29 October 2017

Sayonara Kawan

Ada keputusan yang memang harus tetap diambil meskipun nanti kita akan dicap jahat bagai tak berhati. Salah satunya adalah memilih pendidikan. Tak peduli berapa lama pendidikan itu, masa depan adalah masa depan.

Mulut-mulut mulai berkoar, mencari-cari sebab, menghakimi, menasihati. Sedikit yang benar-benar peduli, sebagian hanya mencari bahan untuk diteruskan menjadi kabar burung tak berujung.

Aku tak ingin bertele-tele karena kurasa malam ini adalah malam berkabung. 2 sahabat saya, sebut saja Zakka dan Sultan. Dengan rela dan terpaksa meninggalkan kebersamaan kami yang telah terjalin selama 6 tahun.

Keputusan yang sulit memang, tapi inilah resiko persahabatan. Selalu ada jurang tajam yang menguji hubungan kita. Persetan!

Zakka, sahabat saya sejak kelas 1, tempat berbagi cerita keluh kesah, meskipun kadang tak berfaedah. Mendadak teringat angkringan Mbah Jenggot di asrama 9 dulu, dengan kopi joss-nya yang membara, kadang kami saling berlomba menghabiskan arang yang beraroma kopi.

Menanjak dewasa, kami mulai bergelut dengan dunia game online. Renaissance 68 TM, Rizq-Net, Underground, Hachi, Gamer Village dan Decade, menjadi saksi bisu betapa candunya kami akan game. Semua terekam jelas di ingatan dengan candanya yang diluar batas kewajaran manusia.

Tak lupa kamar kecilmu disebelah asrama yang menyisakan kepahitan-kepahitan minuman tak bermanfaat. Kegilaan bercampur kebahagiaan ruhani yang menenangkan diri ketika dirundung masalah. Klimaksmu yang luar biasa ketika sampai pada level Legend di Mobile Legend, motor maticmu yang disulap menjadi prototype KLX dan beragam hal absurd lainnya.

Sultan, sesosok manusia yang lamban bak koala. Sahabat ketika hasrat akan musik berada di titik kulminasi. Tak terhitung berapa kali menemaniku menikmati ramainya konser. FSTVLST, Shaggy Dog, Dipha Barus, Naif, Payung Teduh dan Braves Boy. Mereka akan menjadi saksi hidup betapa bodohnya dirimu ketika berada di kerumanan orang moshing dan jamming.

Entah kata-kata apalagi yang bisa kugores untuk melukiskan sifat kalian berdua yang tak wajar. Kita masuk di tempat yang sama, tumbuh dan berkembang di tempat, tapi sayang sekali, persetan dengan kata berpisah.

Sejujur apapun alasan yang kuberi, selalu ada kata 'tapi' untuk menyangkal harapan agar kami keluar secara bersama-sama dari tempat ini. Tentunya keluar dengan wajar.
Sungguh aku tidak menyangka semua akan berpisah secepat ini, dan dengan alasan yang tak masuk akal ini. Aku hanya bisa bergumam dan bergumam. Semoga ini menjadi jalan yang baik bagimu, masa depanmu adalah masa depanmu.

Persetan dengan CCTV!


Share:

Thursday, 26 October 2017

Surat Yang Tenggelam

Orang-orang kota berjalan dengan ponsel menempel di telinga dan menyetir mobil dengan gawai menggelantung di pundak, berbicara ke alat itu dikerumunan, di supermarket bahkan ketika menyapu trotoar. Seakan-akan wabah kelisanan telah mengambil alih hidup mereka.

Suatu hari, seseorang mengirimiku pesan, ia mengajakku untuk bermain surat-menyurat. Hah? surat menyurat! gumamku. Di zaman yang serba praktis ini ternyata masih ada orang yang beraktifitas dengan surat. Seketika gairahku bangkit. Sudah lama aku tidak menjalani hobi menulis, kuambil saja kesempatan ini sekaligus mengasah kembali kemampuan menulisku yang telah pudar.

Menit berlalu, kami mulai memperkenalkan diri, ia juga memperingatkan bahwa fungsi surat tidak untuk menulis kata-kata pendek. Surat diciptakan untuk bercerita, curhat, menulis kalimat-kalimat panjang yang melelahkan. Hingga kutulis beberapa paragraf untuknya.

Sengaja kuberi judul 'Prolog' dibagian atas karena kurasa ini adalah awal dari ribuan kata-kata yang akan menjadi novel.

Ini adalah sesuatu yang anti-mainstream. Disaat semua orang berlomba-lomba menyingkat kata, kini aku mulai memperpanjang kata. Hal yang menarik, begitu pula kabar surat kami. Berjalan dengan cerita-cerita indah yang menekuk pipi, senyuman. Kadang pula kisah sedih yang menurunkan airmata, tangisan.

Aku sangat menikmati perjalanan surat-menyurat ini. Tenggelam di dasar samudera kata-kata yang kutulis dan yang ia tulis. Sampai pada akhirnya semua berakhir, secara sepihak. Entah mengapa suratku tak kunjung ia balas, mungkinkah salah alamat? atau terjatuh ketika kurir pos mengantar? atau mungkin ia sengaja tak membalasnya.

Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Aku tahu, surat adalah benda, bukan makhluk hidup. Hubungan yang dijalin manusia dengan benda awet yang sanggup bertahan berbulan-bulan mengalahkan bulir-bulir pasir waktu, tak pernah berlangsung lugu. Panggilan hidup manusia menjadi terikat dengan bubur kayu lunak yang tak terhancurkan ini.

Aku bukan orang yang suka mencari-cari dibawah kursi. Aku suka dibuai oleh sang dalang, efek-efek sederhana pentas teater, dan melodi mengesankan kata-kata. Namun hilangnya kabar surat yang nan jauh disana membuatku tersadar akan garis bayang-bayang tak terlihat yang meyatukan jasad dan tekad huruf-huruf tercetak didalam permainan klasik ini.

Betapa pun jalan hidupnya menggelitik rasa ingin tahuku, toh aku harus meneruskan jalan hidupku sendiri. Berpacu dengan sasaran yang telah kutetapkan sendiri. Ambisi ini tampak pretensius dibandingkan membaca buku Tahafut Al Falasifah-nya Imam Ghazali. Ini bukan perkara sepele, mohon dipahami.

Apakah ini pertanda akan punahnya surat-menyurat? Hingga kata-kata itu tersimpan dalam catatan hal-hal yang wajib dilestarikan oleh UNESCO. Aku tak tahu, tapi kurasa ini tuntunan zaman dan sulit sekali untuk mengalahkannya.

Yang pada akhirnya, berhenti sudah surat-menyuratku dengan ia. Tak ada lagi berita, kabar, dan cerita yang masuk kedalam pos suratku. Tampaknya ramalanku meleset, kisah ini hanya terdiri atas 'Prolog' dan beberapa cerita pendek. Tak cocok lagi untuk disusun menjadi novel seperti Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder,

Jujur, aku tidak tega menyudahi ini, tapi mau apa lagi. Semoga Tuhan mmeberkati!

Regards.




Share:

Reborn - Mati Suri


Sudah lama jemari ini tidak menyentuh huruf-huruf mungil keyboard. Ada rasa rindu untuk kembali beraktifitas dengan-nya. Tombol capslock, backspace, shift dan ctrl selalu menjadi teman yang menyenangkan. Mereka diam tapi pengertian. 

Indukmu, laptop, kini sudah mulai bersih. Layar tak lagi berdebu, sela-sela sistem tak lagi menjadi sarang semut. Bahkan kabel penyalur energimu yang sempat hilang entah berantah kini telah kembali ke pelukan. 4 bulan memang waktu yang lama hingga aku terlupa kalau memilikimu.

Aku terlalu larut dalam membaca, tenggelam dalam kumpulan kertas-kertas bertinta. Hingga aku lupa bahwa aku juga punya kewajiban untuk merawatmu dan membesarkanmu. Buku fiksi yang telah memanjakan imajinasiku, buku non-fiksi yang telah menyadarkan rasionalitasku, dan buku keagamaan yang telah mencerahkan spiritualitasku.

Aku kerap bertanya-tanya mengapa kusimpan buku-buku yang mungkin baru ada gunanya jauh dimasa mendatang, judul-judul yang tak terkait dengan minatku pada umumnya, buku yang pernah kubaca sekali dan tak akan kubuka berpuluh-puluh tahun setelahnya.

Tapi bagaimana mungkin aku membuang dan melupakan, katakanlah, komik Detective Conan-nya Aoyama Gosho yang membuat masa kecilku penuh dengan rasa ingin tahu akan misteri, atau Laskar Pelangi yang menjadikan masa remajaku serat pertemanan, Madilog, Gerpolek dan judul-judul lain yang diperuntukkan di rak teratas, tempat mereka bersemayam dan berdiam diri dalam kedudukan keramat yang kita banggakan. 

Kini aku sadar, apa gunanya membaca, wawasan, pengetahuan jika hanya disimpan di otak dan kalbu semata. Bukankah saraf otakmu itu hanya hidup untuk sementara?

Seorang bijak pernah berkata: Menulislah, maka engkau akan menjadi bagian dari sejarah. 

Hari ini, adalah hari yang istimewa. Domain yang telah lama mati kini telah hidup kembali. Lahir kembali. Reinkarnasi dari yang dulu. Hadir kembali wadah untuk menyalurkan hasrat menulisku, nafsu pikiranku dan gairah kebahagiaanku.Tapi aku tidak akan meninggalkan hobi membaca, juga tidak mengabaikan hobi menulis. 

Aku akan tetap membaca, hingga mataku tak bisa lagi melihat kata-kata

Aku akan tetap menulis, sampai jariku tak mampu lagi terangkat ketika sholat.

Regards.


Share: