Thursday 26 October 2017

Surat Yang Tenggelam

Orang-orang kota berjalan dengan ponsel menempel di telinga dan menyetir mobil dengan gawai menggelantung di pundak, berbicara ke alat itu dikerumunan, di supermarket bahkan ketika menyapu trotoar. Seakan-akan wabah kelisanan telah mengambil alih hidup mereka.

Suatu hari, seseorang mengirimiku pesan, ia mengajakku untuk bermain surat-menyurat. Hah? surat menyurat! gumamku. Di zaman yang serba praktis ini ternyata masih ada orang yang beraktifitas dengan surat. Seketika gairahku bangkit. Sudah lama aku tidak menjalani hobi menulis, kuambil saja kesempatan ini sekaligus mengasah kembali kemampuan menulisku yang telah pudar.

Menit berlalu, kami mulai memperkenalkan diri, ia juga memperingatkan bahwa fungsi surat tidak untuk menulis kata-kata pendek. Surat diciptakan untuk bercerita, curhat, menulis kalimat-kalimat panjang yang melelahkan. Hingga kutulis beberapa paragraf untuknya.

Sengaja kuberi judul 'Prolog' dibagian atas karena kurasa ini adalah awal dari ribuan kata-kata yang akan menjadi novel.

Ini adalah sesuatu yang anti-mainstream. Disaat semua orang berlomba-lomba menyingkat kata, kini aku mulai memperpanjang kata. Hal yang menarik, begitu pula kabar surat kami. Berjalan dengan cerita-cerita indah yang menekuk pipi, senyuman. Kadang pula kisah sedih yang menurunkan airmata, tangisan.

Aku sangat menikmati perjalanan surat-menyurat ini. Tenggelam di dasar samudera kata-kata yang kutulis dan yang ia tulis. Sampai pada akhirnya semua berakhir, secara sepihak. Entah mengapa suratku tak kunjung ia balas, mungkinkah salah alamat? atau terjatuh ketika kurir pos mengantar? atau mungkin ia sengaja tak membalasnya.

Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Aku tahu, surat adalah benda, bukan makhluk hidup. Hubungan yang dijalin manusia dengan benda awet yang sanggup bertahan berbulan-bulan mengalahkan bulir-bulir pasir waktu, tak pernah berlangsung lugu. Panggilan hidup manusia menjadi terikat dengan bubur kayu lunak yang tak terhancurkan ini.

Aku bukan orang yang suka mencari-cari dibawah kursi. Aku suka dibuai oleh sang dalang, efek-efek sederhana pentas teater, dan melodi mengesankan kata-kata. Namun hilangnya kabar surat yang nan jauh disana membuatku tersadar akan garis bayang-bayang tak terlihat yang meyatukan jasad dan tekad huruf-huruf tercetak didalam permainan klasik ini.

Betapa pun jalan hidupnya menggelitik rasa ingin tahuku, toh aku harus meneruskan jalan hidupku sendiri. Berpacu dengan sasaran yang telah kutetapkan sendiri. Ambisi ini tampak pretensius dibandingkan membaca buku Tahafut Al Falasifah-nya Imam Ghazali. Ini bukan perkara sepele, mohon dipahami.

Apakah ini pertanda akan punahnya surat-menyurat? Hingga kata-kata itu tersimpan dalam catatan hal-hal yang wajib dilestarikan oleh UNESCO. Aku tak tahu, tapi kurasa ini tuntunan zaman dan sulit sekali untuk mengalahkannya.

Yang pada akhirnya, berhenti sudah surat-menyuratku dengan ia. Tak ada lagi berita, kabar, dan cerita yang masuk kedalam pos suratku. Tampaknya ramalanku meleset, kisah ini hanya terdiri atas 'Prolog' dan beberapa cerita pendek. Tak cocok lagi untuk disusun menjadi novel seperti Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder,

Jujur, aku tidak tega menyudahi ini, tapi mau apa lagi. Semoga Tuhan mmeberkati!

Regards.




Share:

2 comments: