Tak usah menyusahkan raga dengan membangun kepingan harapan menjadi tangga. Lagi-lagi menggapai dirinya hanyalah imajinasi semata. Dan seharusnya aku dilanda kesadaran. Bukan dibutakan oleh perasaan yang membasuhi jalan.
Pikirku kedua bahu ini mampu menopang ombak yang berlari memecah hampa. Nyatanya laki-laki itu lebih dari sebuah gelombang samudera yang mampu menghanyutkan mata.
Tertawa bersamanya sempat menjadi hiburan disela rusuhnya pikiran. Sekarang dirinyalah puncak pertentangan yang merajalela di angan.
Ingin rasanya berhenti melakonkan sandiwara, karena tak ada waktu untuk menolak pedihnya realita. Anggapan tentang diriku mungkin sebatas ilusi yang tercipta di benak sendiri.
Dibalut dengan ke-egoisan yang terwujud dari ketidak pastian bahwa dirinya bukanlah sekedar teman.
Terpaku dengan dia dan kehadirannya ditengah bukit yang sedang kutempuh. Memberi gagasan untuk kembali pulang. Menyapa keyakinan ketika telah tumbuh di dada bahwa aku bisa berpijak tanpa bantuan manusia.
Memanggungkan janji bahwa harapan kali ini tangannya yang akan merengkuh mimpi. Meyakinkan diri itu pahit, ketika jalan yang diberikan takdir nyatanya sempit dan menuntun rasa sakit.
Dan omong kosong belaka itu mulai tak kupercaya.
Bahwa insan yang ditakdirkan bersama akan menemukan jalan pulang pada akhirnya. Karena bukankah anggapanmu bia berubah. Dan kau bisa menyanggah bahwa aku bukan lagi sebuah rumah?
- Blendongan, bersama Racha, Azzam dan Amay
0 comments:
Post a Comment