Pukul 01.00 am. Teruntuk hujan malam ini. Terima kasij telah bersuara. Rintik dalam sunyi. Mengapa harus ada dua kata dan dua makna yang berbeda dalam sebuah alur cerita?
Awal dan akhir.
Datang dan pergi.
Percaya dan curiga.
Cinta dan luka.
Datang dan pergi.
Percaya dan curiga.
Cinta dan luka.
Kedua kata yang berkolaborasi secara hebat. Tanpa sebuah transisi baik-baik pada kata "dan" ditengahnya. Terlalu kebetulan dan tiba-tiba.
Hai hujan, sampaikan padanya.
Sebuah kata, jangan dijadikan prasangka. Sebuah kepercayaan, jangan dijadikan keraguan.
Meski tak seindah yang semestinya. Meski tidak sempurna seperti apa adanya. Meski tidak mudah dimengerti, seperti sebuah puisi.
Sederhana saja.
Aku menganggap hadirmu. Aku menerima sebuah perbedaan yang ada padamu. Aku yang selalu ingin membuat garis senyum pada raut sendumu. Dengan sebaik-baik caraku.
Jangan termakan emosi dalam diri. Jangan biarkan ambisi menguasai. Jangan membuat persepsi tanpa bukti.
Sebuah alur yang membuat kata "yasudah" pada akhir sebuah kalimat. Belum. Batas sabarku belum diambang titik akhir. Toleransiku masih berpihak pada hati. Mengerti adalah sebuah jata untuk diri sendiri.
Semesta, ingatkan aku jika sudah sampai pada waktunya menentukan sebuah pilihan. Ingatkan aku untuk selalu memaafkan. Ingatkan aku jika permasalahan bukanlah sebuah kesalahan. Ingatkan aku bahwa semua makna tidak harus terucapkan.
Jika kenyataannya sebuah kata "sementara" datang. Cepat atau terlambatnya itu. Ini yang aku ingin katakan.
"Aku yang memilih pada awalnya dan tanpa sesal pada akhirnya"
- SMAN 10, bersama Bintoro
0 comments:
Post a Comment