Friday, 12 May 2017

Entah Sejak Kapan

Entah sejak kapan kita bersimpangan jalan. Rasanya dulu kita berteman. Berjalan beriringan. Berkelana mencari kebenaran.

Entah sejak kapan jembatan yang menghubungkan kita dirobohkan. Tanyalah mereka yang pernah bersamaku di sebuah kota kecil di kaki gunung Cikurai ketika menuntut ilmu kebajikan. Poster besar pak tua kharismatik bersurban, hitam berjanggut perak tertempel kokoh di dinding bilik, lurus di atas dipan. Tidakku ingat benar dari mana gambar besar itu didapatkan. 

Entah dibeli, entah hadiah dari teman. Yang pasti kami tidak terlalu peduli dari sekolah apa pak tua itu ditempatkan. Pak tua itu menjadi semacam sebuah inspirasi penuh letupan. 

Sebuah keberanian mendobrak dan melawan. Di bawah sudut poster itu aku tuliskan sebuah kaligrafi penuh bara: isy kariman au mut syahidan! Dalam sorot mata tajam pak tua itulah kami mengaji, membaca, bercanda, berkelahi dan belajar ilmu kehidupan. Sungguh disana tidak ada riak kebencian.

Entah sejak kapan kita terpisah tanpa sempat berpamitan. Kami para belia Islam, dulu, menggandrungi seorang alim yang meneriakan pembebasan. Di dalam lemariku yang berdesakan, ada buku pria plontos yang menganjurkan kami menjadi raushan fikr: nabi-nabi sosial, para pemikir tercerahkan. Rasanya aku dekat dengan dia, entah kapan kebencian itu mulai diajarkan.

Ya, sejarah kita memang sejarah berlainan. Tapi entah sejak kapan masa lalu getir itu diundang hadir kembali disini jika hanya ingin menebalkan garis batas antara kami dan kalian.

Entah sejak kapan benih kebencian itu kembali dijamah. Izinkan aku beragama secara sederhana untuk mengusir jejak kebencian sampai musnah. Tidak perlulah urat leherku menyembul menjajakan asmaul husnah. Tidak perlu pula jubah kalau hanya untuk menutup hati yang penuh nanah.

Regards from Raja Juli Antoni


Share:

0 comments:

Post a Comment