Tuesday, 23 January 2018

Trully Kawan

Halo?
Apa kabarmu?
Aku harap kamu terus membaik.

Tidak seperti aku.
Yang masih lemah didepan kenyataan.
Dan kadang malu ketika berhadapan dengan harapan.

Kondisi kita memang berbeda, baik dari segi sosial, ekonomi, dan psikologis. Tapi itu tak bisa menjadi alasan untuk tak berkawan.

Aku sudah pernah merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Kehilangan sesosok pahlawan, bunda. Memang berat rasanya untuk menerima, tapi dikala takdir berbicara kita tak bisa membantah.

Sedih itu pasti, ingin bertemu kembali itu keniscayaan. Tapi jangan terlalu jatuh dalam bersedih. Ingat, masih ada aku dan mereka yang siap mendengarkan kesedihanmu, memberikan kehangatan yang lebih, dan membangkitkanmu lebih dari yang sebelumnya.
Hal-hal yang membuatmu murung jangan dinikmati sendirian, aku disini. Aku siap untuk turut serta dalam kemurunganmu. Santai saja, we stick together.

Kita jalani hidup bersama-sama. Melakoni rutinitas pondok pesantren yang super amburadul jadwalnya. Kita susah bareng, sedih bareng, senang bareng dan sukses bareng. Jangan jalan sendirian, dunia terlalu luas untuk dirimu sendiri.

Berkabung memang boleh, tapi jangan terlalu lama. Secara fisik memang bunda sudah tidak ada, tapi bunda tetap ada di hati. Selalu ada dan tak tergantikan.

Oleh karena itu, sudahilah kesedihanmu. Bangkitlah, kan kurangkul kembali dengan erat. Tak usah khawatir untuk lepas. Untuk apa Tuhan menciptakan jemari jika tidak untuk menggenggam.

Mari kita buat cerita seru lagi, jalan tapak ini masih panjang. Sangat sia-sia jika tidak ada kisah-kisah kan menjadi kenangan. Waktu kita disini sudah tak lama lagi. Mungkin kedepannya kita tak sekota lagi. Menantang dunia dengan kesibukannya masing-masing.

Bangkitlah, ukir dunia dengan senyuman polosmu.

Dear, Trio Piyik

- Afternine Grill, 22 Januari 2018, bersama Bintoro dan Bocil

Share:

Unfaedah

Setelah perjalanan yang panjang itu. Aku mulai menyadari bahwa ada yang terlupakan selama ini. Kurebahkan badan ini dan duduk termenung. Lalu terlintas dipikiranku akan janji di awal perjalanan. 

Kemana saja aku selama ini?

Menikmati keinginanku dan lupa akan janji yang terucap di bibir ini. Bagai karang yang terbawa hempasan ombak dan menikmati kemana saja arus membawanya. Lalu ia terluka akan goresan itu sendiri.

Kini ku menyadari, kita berada di dua jalur yang berbeda. Entah kita bertemu atau tidak di penghujung jalan ini, aku tak tau.

Coba kau tanyakan pada aspal itu! Mungkin ia bisa menjawabnya. 

Kuselesaikan perjalanan ini dan memilih tuk sendiri. Karena selama ini aku baru tersadar. 

Sudah waktunya pulang

Share:

Monday, 22 January 2018

Tanpa Nama

Aku adalah tanpa nama, bersama serpihan yang lupa akan terbang,membeku pada kulit tak berpeluh.

Akulah penyampai yang tak pernah mengutuk kebohongan mereka. Karena aku tahu, berbohong itu tak mudah.

Aku selalu percaya merpati, sadar akan kebebasan tapi tetap setia dengan tujuan.
Terkadang, aku menyukai kesendirian. Disana aku belajar berterus terang, tanpa takut kehilangan.

Musuhku berada di depan, tak jauh. Dia selalu mengancamku menjadi abu. Namun tanpanya aku tak berguna, karena diapun benci gelap.

Aku adalah tanpa nama, jika kau lupa.

- Bintoro Home, Akhir Januari


Share:

Sunday, 21 January 2018

Hmm Jujur

Jujur itu susah. Susah untuk jujur.
Dikala jujur terabaikan. Dan ketidak-jujuran malah diberi penghargaan.

Jujur itu sulit. Sulit untuk jujur.
Dikala ramai jujur diperjuangkan. Malah lebih ramai dimusuhi dan dilengserkan.
Alasannya, hanya takut besok tak bisa makan. Hanya takut besok tak bisa bermain kemewahan.

Jujur kadang adalah kesalahan. Kesalahan kadang muncul karena ketidak-jujuran.
Kejujuran membuat stress. Kala terlalu jujur sakit si pesakit. Kejujuran berujung penyesalan. Karna pernah tidak jujur, pada si pesakit.

Jujur itu penting. Tapi kadang jujur itu disalahkan.

Tuhan itu paradoks. Senang bercanda dan bercengkrama. Nyatanya, itulah cara Dia mencintai ciptaan-Nya.

Jujur tak akan pernah membuat harga dirimu runtuh.

- Monggo Chocholate, Januari, bersama Bintoro dan Bocil


Share:

Thursday, 18 January 2018

Betapa Bodohnya

Orang banyak berkata aku bodoh karena berbagai alasan. Mengharap yang tak ada. Mendamba yang tak mau. Meminta yang tak nyata. Mencari yang hilang.

Sudah 6 tahun pengembaraan ini bermula, tak kukira akan berakhir ditempat yang sama. 

Apa yang membuatku terus berjalan, pun aku tak mengerti. Padahal yang hilang tak perlu dicari lagi.

Padahal yang pernah ada, tak usah diingat lagi. Hanya bikin hati nyeri. 

Hingga tersisa aku yang bodoh. Selalu terjebak di titik yang sama. Selalu kembali ke kotak awal di permainan ular tangga, dan yang hilang selalu menang.




Share:

Wednesday, 17 January 2018

Harta Terindah

Aku selalu benci mengunjungi tempat ini. Hawa-nya sangat tidak mengenakkan. Orang yang tergopoh-gopoh. Infus terpasang. Kursi roda berserakan. Dan jiwa-jiwa yang terbaring lemas di atas ranjang.

Ditempat ini ruh-ruh manusia dipertaruhkan. Antara tetap bersatu dengan raga, atau tercabut terbang ke alam baka. Antara hidup, atau mati.

Kematian memang tak bisa dielak. Memang benar, orang yang paling beruntung adalah orang yang tak dilahirkan di dunia ini. Yang tak bisa merasakan sakit, baik disakiti maupun menyakiti.

 Aku selalu mengingat perkataan bapak ketika di tempat ini, bahwa orang-orang yang terbaring disini ibarat karet yang sedang diulur. Kemungkinannya hanya ada 2, kalau tidak putus ya molor.

Jika putus berarti mati.
Jika molor berarti tetap hidup, namun tak se-sehat sedia kala. 

Yang kasihan adalah orang yang karetnya terus ditarik tapi tak putus-putus. Ia akan sakit, sehat, sakit, sehat, begitu terus. Sampai karetnya benar-benar molor, dan putus dimakan waktu. 

Berbahagialah orang yang sehat dan mati dengan cara yang tepat. Karena sehat merupakan harta terindah. Tapi sakit memang sudah menjadi hukum alam. Tak bisa ditolak.

Hari ini aku benar-benar ingin menangis. Melihat ibunda kawanku yang terbaring di rumah sakit. Lemas, dan tak berenergi. Semua dikarenakan sakit yang telah menggerogotinya sejak 3 tahun kebelakang. Ia hanya bisa berbaring, sambil memberikan senyuman dan beberapa patah kata. 

Aku tak tega untuk terus menerus menatapnya. Aku hanya bisa berdoa, dan berdoa. Tak lupa kusisihkan uangku untuk beli parcel, agar menenangkan kawanku yang selalu setia menemani ibundanya. Yang tegar ya Bin, kamu kuat kok.

Tak tahu lagi aku harus menulis apa. Aku ingin menangis.

- PKU Muhammadiyah, 17 Januari 2018





Share:

Monday, 15 January 2018

Catatan Kecil

Aku tidak pandai merangkai kata. Tidak pula mengekspresikan apa yang kiranya dirasa.

Aku bukanlah seseorang yang bijak. Yang dapat menemani hening malammu dengan sebuah nasihat.

Aku bukanlah seorang prajurit. Yang siap bertempur dan siap untuk mati.

Aku manusia biasa, benar adanya. Sama seperti kamu, dia dan mereka.

- Asrama, Januari

Share:

Friday, 12 January 2018

Segoro Ninggal Janji

Sebenarnya kita sudah saling tau sama lain.

Kita pernah satu sekolah, tetapi jarak sekolah kita sekarang yang jauh membuat kita tidak pernah ngobrol satu sama lain. Kita hanya tau muka saja via Instagram.

Oh tambah tinggi
Oh tambah putih
Mungkin ini yang ada di pikiran kita dulu saat ada di bangku sekolah. Saling menerka satu sama lain dengan modal pengenal wajah saja.

Sekitar 3 tahun kita tidak saling berhubungan satu sama lain.

Kita disatukan dalam satu ikatan keluarga yang bernama Brigadista. Meski tak satu almamater lagi, kita masih utuh dalam kekeluargaan ini. Keluarga yang kita bangun bersama-sama, dengan kawan-kawan yang lain.Yang tetap kokoh ketika suka duka menghampiri. Walau nahkoda silih berganti, ruh keluarga kita tetap sama. Loyalitas Tanpa Batas.

Pantai Slili menjadi saksi bisu keharmonisan keluarga ini. Jumlah kepala tak lagi menjadi alasan keluarga ini untuk rapuh, karena kita sudah beranjak dewasa. Logika kita sudah mulai berjalan. Nalar kita sudah mulai tumbuh. Dan perasaan kita sudah mulai terasah.

Sungguh indah family time seperti ini, yang belum tentu bisa kita lakukan lagi di tahun-tahun kedepan. Toh jarak sudah bukan menjadi masalah. Selama silaturahmi masih terus terjalin dari ujung barat sampai ujung timur. Maka, tidak akan ada kata punah. We still alive, forever.

Sebagaimana penggalan dari lagu kebanggaan kita semua:

Kita lewati bersama
Takkan gentar lawan dunia
Jabat tanganku kawan
Abaikan usia
Kita selalu bersama
Tak peduli siapa mereka
Karna kita berbeda kan slalu bersama
Untuk selama-lamanya

- Pantai Slili, Januari 2018



Share:

Friday, 5 January 2018

Terlampau Bodoh

Sudah cukup, mohon jangan tuangkan kembali minuman itu pada gelas-gelasku. Mukaku sudah memerah. Untuk membuka mata saja aku tak mampu. Aku tak ingin memaksakan ragaku yang jelas-jelas menolak.

Cukup sudah mengatakan "aku baik-baik saja". Aku tidak baik, sudah jelas aku sedang hancur. Tolong kemarilah. Dengarkan ceritaku tentang beban yang begitu berat. Tutup kupingmu jika memang sudah tidak sanggup. Tidak usah takut aku akan menjauh. Aku disini, dengan kebodohanku. Pemahaman tentang alkohol dapat menyelesaikan masalah itu salah besar. Masalah mana yang sudah aku bereskan?

Sekolahku yang tidak jelas?
Kisah cintaku yang patah?
Atau keluargaku yang tutup kuping mengenai apa yang sedang aku rasakan?
Jadi, mana dari ketiga masalah itu yang sudah aku bereskan dengan alkohol itu?

Tidak ada.

Yang aku senangi saat ini malah memperburuk keadaan. Ia merusakku, bukan membantuku. Mungkin aku bisa meminum sebanyak yang aku mau untuk menyelesaikan masalahku.

Tapi aku sudah belajar bahwa tidak ada minuman yang cukup untuk melupakan orang yang aku cintai, dan membereskan setiap inci dari masalahku. Waktuku terlalu sebentar untuk segala kenikmatan yang menyakitiku.

Aku terlalu bodoh. Entah darimana asalnya ini menjadi penyulut segala masalah. Masalah yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Berat dan pelik sekali. Tak se-sederhana saling mengejek. Melainkan masalah harga diri. Aku benar-benar tak sanggup untuk menuliskan ini. Tapi aku juga tak mampu menyimpan segala kesalahan dalam hati.

Aku tak bisa menyalahkan orang lain, Karena ini murni kesalahanku, kebodohanku. Dan ini menyangkut orang banyak. Aku siap menanggung dosa yang kubuat. Mewakili kebodohan-kebodohanku yang lain.

Tenggorakanku terasa luka saat ini. Kuingat-ingat, mungkin ini sebab aku semakin sering menelan kata benci yang mulai segan disampaikan kepadaku. Kuharap subuh tak sampai bosan aku suguhkan sedu kesedihan dan kebodohan yang selalu mengatas-namakan kebaikan.

Terkadang semua terasa sulit hanya karena perihal malu. Malu menyampaikan. Malu mengatakan. Malu mengungkapkan. Malu menjelaskan.

Bukan, ini bukan tentang orang lain. Melainkan diriku yang lebih sering menyimpan semuanya sendiri hanya karena malu mengungkapkan dan menjelaskannya pada orang lain. Sesak memang ketika lebih memilih menyimpan sendiri tanpa memberitahu yang lain.

Panas dan menggelora. Namun saat semuanya terbakar, yang tersisa hanyalah abu. Kulit-kulit mengelupas, kering tanpa darah, hangus tanpa asap. Aku terlalu bodoh untuk menyulut api ini. Tapi semua terlanjur terbakar, membumi-hanguskan yang telah ada.

Datang bagai badai. Membawa seluruh asa dan lamunan melayang tinggi, namun ternyata hampa ditengah pusaran. Melayang tanpa jalan keluar.

Maka aku memilih melayang jatuh. Kering, hampa, beku dan tercabik sempurna. Sendiri saja. Sakit dalam sakitnya.

- Lesehan Aldan, Januari 2018




Share:

Thursday, 4 January 2018

Titik Balik Termudah

Jangan terlalu sibuk berlari. Dan mencari. Istirahatlah sebentar.

Duduklah sejenak denganku, tuk sekedar berbagi kopi hangat di bawah hembusan angin malam bulan Januari.

Atau sekedar melanjutkan cerita tentang sifat polosmu yang tadi pagi harus kita tunda karena kesibukan monoton kita masing-masing.

Tenang saja, aku siap mendengar keluh kesahmu tentang kesibukan hari ini. Tentang gurumu yang selalu telat masuk kelas, banyaknya tugas, sedapnya gedang goreng koperasi, atau tentang kamu yang selalu jadi korban bully-an.

Caramu bercerita, caramu menekuk alis saat kesal, caramu menyelipkan tawa. Semua tersimpan jelas dikepalaku. Semuanya.

Terkadang kita selalu sibuk menginginkan yang bukan milik kita, sampai lupa menjaga apa yang telah kita punya. Kita terlalu sibuk berbicara tentang luka, sampai lupa menjaga hal-hal baik seperti seharusnya.

Jika nanti telah kamu temukan yang menurutmu baik, silahkan cobai saja.

Dan bila semuanya nanti tidak berjalan sesuai anganmu, aku akan jadi titik balik termudah yang bisa kamu tempuh.

- Silol Cafe, Januari, bersama Bintoro dan Bocil


Share:

Wednesday, 3 January 2018

Ibuk, Dan Beberapa Catatan

Tak kusangka, ternyata mbakku punya koleksi buku-buku yang mengagumkan. Meskipun didominasi oleh buku bahasa Inggris dan Jepang, ada juga beberapa buku yang ku incar, tapi belum sempat terbeli.

Sebut saja Max Havelar-nya Multatuli, Sabda Palon, Jomblo Tapi Hafal Pancasila-nya Agus Mulyadi dan Ibuk karya Iwan Setyawan.

Dari semua buku itu, yang menjadi unggulan untuk dibaca pertama adalah Ibuk. Ya selain aku sedang mood untuk membaca novel, buku ini berlatar belakang di Kota Batu. Yang secara otomatis menimbulkan rasa penasaran tersendiri.

Seminggu berlalu, aku menyelesaikan novel ini. Yang bercerita tentang Bayek, anak seorang supir angkot yang kemudian menjadi sukses ketika bekerja di Amerika. Secara mendalam aku menyelami kata-kata dan menghayatinya.

Jujur, hatiku sempat tersentuh dan ingin rasanya untuk meneteskan air mata. Tapi apalah daya. Aku jadi merasa bersalah karena menjadi beban orang tua. Sebaliknya dalam buku ini, Bayek dapat membuktikan bahwa ia bisa menjadi pahlawan keluarga.

Aku jadi merasa ampas keluarga. Tapi disisi lain, aku mendapatkan motivasi agar kelak bisa membuat orang tuaku tersenyum ketika aku sukses.

Selain itu, yang membuat aku senang. Aku berhasil menyebarkan virus membaca kepada kawan-kawanku. Kepada Bintoro, Bocil dan yang lain. Semua berkat novel Ibuk. Hehe

- Asrama, Januari

Share: