Friday 5 January 2018

Terlampau Bodoh

Sudah cukup, mohon jangan tuangkan kembali minuman itu pada gelas-gelasku. Mukaku sudah memerah. Untuk membuka mata saja aku tak mampu. Aku tak ingin memaksakan ragaku yang jelas-jelas menolak.

Cukup sudah mengatakan "aku baik-baik saja". Aku tidak baik, sudah jelas aku sedang hancur. Tolong kemarilah. Dengarkan ceritaku tentang beban yang begitu berat. Tutup kupingmu jika memang sudah tidak sanggup. Tidak usah takut aku akan menjauh. Aku disini, dengan kebodohanku. Pemahaman tentang alkohol dapat menyelesaikan masalah itu salah besar. Masalah mana yang sudah aku bereskan?

Sekolahku yang tidak jelas?
Kisah cintaku yang patah?
Atau keluargaku yang tutup kuping mengenai apa yang sedang aku rasakan?
Jadi, mana dari ketiga masalah itu yang sudah aku bereskan dengan alkohol itu?

Tidak ada.

Yang aku senangi saat ini malah memperburuk keadaan. Ia merusakku, bukan membantuku. Mungkin aku bisa meminum sebanyak yang aku mau untuk menyelesaikan masalahku.

Tapi aku sudah belajar bahwa tidak ada minuman yang cukup untuk melupakan orang yang aku cintai, dan membereskan setiap inci dari masalahku. Waktuku terlalu sebentar untuk segala kenikmatan yang menyakitiku.

Aku terlalu bodoh. Entah darimana asalnya ini menjadi penyulut segala masalah. Masalah yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Berat dan pelik sekali. Tak se-sederhana saling mengejek. Melainkan masalah harga diri. Aku benar-benar tak sanggup untuk menuliskan ini. Tapi aku juga tak mampu menyimpan segala kesalahan dalam hati.

Aku tak bisa menyalahkan orang lain, Karena ini murni kesalahanku, kebodohanku. Dan ini menyangkut orang banyak. Aku siap menanggung dosa yang kubuat. Mewakili kebodohan-kebodohanku yang lain.

Tenggorakanku terasa luka saat ini. Kuingat-ingat, mungkin ini sebab aku semakin sering menelan kata benci yang mulai segan disampaikan kepadaku. Kuharap subuh tak sampai bosan aku suguhkan sedu kesedihan dan kebodohan yang selalu mengatas-namakan kebaikan.

Terkadang semua terasa sulit hanya karena perihal malu. Malu menyampaikan. Malu mengatakan. Malu mengungkapkan. Malu menjelaskan.

Bukan, ini bukan tentang orang lain. Melainkan diriku yang lebih sering menyimpan semuanya sendiri hanya karena malu mengungkapkan dan menjelaskannya pada orang lain. Sesak memang ketika lebih memilih menyimpan sendiri tanpa memberitahu yang lain.

Panas dan menggelora. Namun saat semuanya terbakar, yang tersisa hanyalah abu. Kulit-kulit mengelupas, kering tanpa darah, hangus tanpa asap. Aku terlalu bodoh untuk menyulut api ini. Tapi semua terlanjur terbakar, membumi-hanguskan yang telah ada.

Datang bagai badai. Membawa seluruh asa dan lamunan melayang tinggi, namun ternyata hampa ditengah pusaran. Melayang tanpa jalan keluar.

Maka aku memilih melayang jatuh. Kering, hampa, beku dan tercabik sempurna. Sendiri saja. Sakit dalam sakitnya.

- Lesehan Aldan, Januari 2018




Share:

0 comments:

Post a Comment