Aku selalu benci mengunjungi tempat ini. Hawa-nya sangat tidak mengenakkan. Orang yang tergopoh-gopoh. Infus terpasang. Kursi roda berserakan. Dan jiwa-jiwa yang terbaring lemas di atas ranjang.
Ditempat ini ruh-ruh manusia dipertaruhkan. Antara tetap bersatu dengan raga, atau tercabut terbang ke alam baka. Antara hidup, atau mati.
Kematian memang tak bisa dielak. Memang benar, orang yang paling beruntung adalah orang yang tak dilahirkan di dunia ini. Yang tak bisa merasakan sakit, baik disakiti maupun menyakiti.
Aku selalu mengingat perkataan bapak ketika di tempat ini, bahwa orang-orang yang terbaring disini ibarat karet yang sedang diulur. Kemungkinannya hanya ada 2, kalau tidak putus ya molor.
Jika putus berarti mati.
Jika molor berarti tetap hidup, namun tak se-sehat sedia kala.
Yang kasihan adalah orang yang karetnya terus ditarik tapi tak putus-putus. Ia akan sakit, sehat, sakit, sehat, begitu terus. Sampai karetnya benar-benar molor, dan putus dimakan waktu.
Berbahagialah orang yang sehat dan mati dengan cara yang tepat. Karena sehat merupakan harta terindah. Tapi sakit memang sudah menjadi hukum alam. Tak bisa ditolak.
Hari ini aku benar-benar ingin menangis. Melihat ibunda kawanku yang terbaring di rumah sakit. Lemas, dan tak berenergi. Semua dikarenakan sakit yang telah menggerogotinya sejak 3 tahun kebelakang. Ia hanya bisa berbaring, sambil memberikan senyuman dan beberapa patah kata.
Aku tak tega untuk terus menerus menatapnya. Aku hanya bisa berdoa, dan berdoa. Tak lupa kusisihkan uangku untuk beli parcel, agar menenangkan kawanku yang selalu setia menemani ibundanya. Yang tegar ya Bin, kamu kuat kok.
Tak tahu lagi aku harus menulis apa. Aku ingin menangis.
- PKU Muhammadiyah, 17 Januari 2018
0 comments:
Post a Comment