Thursday, 31 May 2018

Hujan dan Gerangan

Gemericik air diluar sana makin giat membasahi bumi. Terdengar bunyi kelakar langit ikut meramaikan malam yang mulai sunyi. Membuatku semakin terlonjak kaget, apalagi keadaan rumah yang benar-benar sepi. Hanya aku seorang diri.

Ruanganku juga tampak gelap dan singup. Bukan, bukan karena sengaja ku matikan. Tapi listrik sedang padam.

Hal yang paling menyebalkan di dunia bagiku, hujan deras ditambah gelegar langit, lengkap dengan paket mati lampu. Parahnya aku sedang sendirian di rumah. Ya, memang aku sendiri karena menjadi anak rantau kurang lebih sudah masuk tahun keenam.

Mataku tak bisa terpejam, awas pada sekitar yang semuanya sama. Hitam. Sesekali ada cahaya dari kilatan langit yang mencoba menerobos lewat gorden jendela kamarku. Itu lebih menyeramkan menurutku daripada pekatnya ruangan berbentuk persegi ini.

Ku ambil ponselku, mulai menjelajah pada isinya. Daripada alunan nada dari air langit, suara emas penyanyi favoritku tentu jauh lebih baik. Kadang, suara hujan itu menyeramkan. Apalagi jika di malam hari. Seolah memenuhi gendang telingaku. Seperti irama dalam film horror.

Namun, keadaan kali ini benar-benar seperti film horror. Sungguh. Telingaku menangkap bunyi ketukan di kaca jendelaku sana. Jaraknya hanya sekitar dua meter dari ranjang. Tubuhku membeku. Mencoba memejamkan indera pendengaranku.

Tuh kan, telingaku tidak salah. Aku ingin memastikan itu apa. Seseorang kah? Ranting pohon kah? Atau ...

Tapi aku tidak mampu melangkah kesana. Bahkan, sekedar membalikkan tubuhku menghadap ke jendela. Ya, daritadi posisiku membelakanginya. Perlahan jemariku mencoba mengecilkan volume handphoneku.

Suara ketukan itu hilang. Kembali derasnya hujan yang kudengar.

Aneh 

- 31 Mei 2018




Share:

Wednesday, 23 May 2018

Tejo dan Kemarahannya


Sore itu Kota Batu masih seperti biasanya, dingin dan berkabut. Disaat adzan maghrib mulai berkumandang, Tejo telah sigap melangkahkan kakinya menuju masjid yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal. Sesampainya di masjid, Tejo langsung mengambil air wudlu dan berdiam sejenak menunggu sholat maghrib di mulai.

Usai sholat, Tejo keluar masjid untuk mencari angin sembari menunggu kawan-kawannya yang masih berada di dalam masjid. Sesuatu yang lumrah bagi remaja-remaja seumuran Tejo untuk menghabiskan waktu antara maghrib sampai isya di masjid untuk sekedar ngobrol dan basa-basi tidak jelas. Belum satupun kawan Tejo keluar masjid, ada seseorang yang tidak dikenal menghampirinya. Badannya tidak terlalu tinggi. Kulitnya sawo matang. Bibirnya hitam. Menurut perkiraan Tejo, dia berumur sekitar 30-an.

“Assalamu’alaikum, mas”. Sapa orang itu.
“Wa’alaikumussalam.” Sahut Tejo.
“Mas-nya kuliah apa masih sekolah?”
“Ini baru mau masuk kuliah, insya’allah tahun ini”
“Mau kuliah dimana mas?”

Seketika Tejo bingung. Sebenarnya ia bisa saja menjawab kuliah di kampus negeri yang bergengsi seperti UGM dan UB toh hasil SNMPTN juga belum keluar. Tapi ia pesimis karena hasil nilai-nya selama SMA tidak tinggi-tinggi amat. Untuk cari aman Tejo langsung menyahut dengan menyebutkan salah satu universitas swasta milik salah satu ormas besar di Indonesia.

“Kenapa milih universitas itu mas? Bukan karena ormas-nya kan?” Orang itu kembali bertanya.
“Ya nggak papa toh, lah wong saya suka, guru-guru SMA mendukung, orang tua juga meridhoi. Insya allah ridho orang tua itu ridho Allah juga kok”. Jawab Tejo dengan sedikit tersinggung.
“Nanti kalo udah kuliah, mau jadi mahasiswa yang teoritis apa praktis?”
“Ya praktis dong, masak teoritis sih”
“Kalo saya mending jadi yang aktivis mas. Jadi nggak banyak berteori, tapi langsung melakukan aksi yang pasti. Ibaratnya tuh seperti menanam pohon, dirawat dengan sabar sampai membuahkan hasil. Nah itu namanya aktivis mas, melakukan hal yang sudah pasti. Kalo teoritis mah ibarat menawarkan pohon, cuman ngomong A, B, C tapi nggak ada langkah kongkritnya”

Tejo memasang muka masam. Sebenarnya ia ingin marah, tapi mencoba untuk sabar. Orang itu memberikan pilihan antara teoritis dan praktis. Tapi malah memberikan bantahan dengan hal yang bukan dari keduanya. Apa sih maunya orang itu, pikir Tejo. Selang beberapa lama, orang itu kembali mencerocos. Kali ini bukan lagi pertanyaan, melainkan curhatan.

“Mas, saya ini udah lulus kuliah, udah kerja, dan aktif di salah satu ormas. Tapi ada satu cita-cita saya yang belum tercapai. Yakni menyatukan semua ormas dibawah satu naungan bendera. Jadi tidak ada Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, HTI, dan lain sebagainya. Semuanya menjadi satu komando. Bapak saya itu orang NU, mas. Saya udah berkali-kali mengajaknya untuk keluar dari NU tapi bapak saya tetap keras kepala dan bahkan memarahi saya. Dari SMP sampai SMA saya juga mondok di pesantren Muhammadiyah, tapi saya selalu bolos ketika ada pelajaran Kemuhammadiyahan. Ya untungnya saja saya masih bisa lulus.”

Kali ini Tejo benar-benar naik pitam. Ingin sekali meluapkan amarahnya yang telah memuncak tapi apa daya, ia sedang berada di masjid. Tidak etis apabila terjadi pertengkaran di dalamnya. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti, orang yang tidak dikenalnya itu berpikiran sangat idealis tapi tidak masuk akal. Tidak mungkin membubarkan ormas-ormas yang bahkan sudah ada sebelum Tejo dan orang itu lahir. Beruntung sekali Tejo langsung teringat salah satu hadis yang ia pelajari di pondok pesantren. Bahwasanya nanti umat islam akan terpecah menjadi beberapa golongan, dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dengan elegan ia memotong curhatan orang itu.

“Ngapunten nggeh, tujuan mas buat menyatukan semua ormas itu keren. Tapi mas pernah ngga sih denger hadis tentang umat islam yang terpecah menjadi beberapa golongan, dan hanya satu yang masuk surga? Sudah pernah denger belum mas? Kalau belum denger tak kasih tahu nggeh. Nah kira-kira kalo mas-nya menyatukan semuanya bakalan jamin masuk surga?”

Belum sempat menjawab, adzan isya sudah berkumandang. Dan Tejo langsung masuk kembali kedalam masjid tanpa ingin tahu jawaban orang itu tadi.

- Edisi Draft Mojok


Share:

Tuesday, 22 May 2018

Terima Saja


Matahari tidak pernah lelah bersinar. Bagaimana pun ia memang tak pernah redup atau mati lampu. Tidak seperti aku yang masih memiliki titik terendah dalam pribadiku. Redup karena kecewa atau terasa mati lampu karena hampa.

Tetes air hujan tidak pernah mengeluh untuk selalu jatuh. Memang air itu mati rasa dan lalu menghilang. Sama seperti sebuah hati, yang semakin lama semakin hilang rasanya kerena harus selalu bangkit dari lara. 

Bukan perkara bagaimana semua hal indah dapat kembali lagi. Tapi, semua itu tentang bagaimana kita tidak membentuk masalah itu lagi dan lagi.

Ku katakan pada diriku "aku baik-baik saja". Sesering itu kukatakan dalam hati, yang tidak punya telinga melainkan rasa sendiri. 

Coba lihat, dengar, rasakan. Ada apa denganku? atau kamu? Apa ini ulah semesta? atau sugesti dari sebuah logika?

Jika kusalahkan diriku sendiri, hatiku yang merasa kalau aku benar. Jika kusalahkan dirimu, mulutku bisu dan kaku tapi tak membiru.

Apa aku harus pandai menulis untuk menjelaskan sebuah alasan? Atau aku harus pandai bersandiwara untuk bisa berpura-pira?

Jadikan sebuah makna menjadi suatu pembela. Lupakan apa yang sudah tenggelam dan hilang. Namun masa demi masa untuk sekedar tahu bagaimana kita. 

Kelak, waktu yang akan menjawab, untuk apa kita, bagaimana kita, sampai mana kita.

Cukup Tuhan yang berikan jalan.

Cukup hati yang merasakan.

Cukup menunggu untuk sebuah ketetapan.

Dan cukup kita yang memutuskan untuk bertahan.

- 22 Mei, a week later birth. 

Share:

Monday, 14 May 2018

Hyang Widi

Aku sudah lama tidak menulis puisi. Jari jemariku kaku. Bahkan lidahku mulai kaku untuk mengucap bait demi bait yang hendak aku tulis. Namun, hari itu, ketika aku duduk di meja kerjaku. Aku mengambil kertas putih dan pensil, mencoret-coret kata per kata. Dan hari ini, kutemukan kertas itu masih terselip di tasku. Sedikit hiburan ucapku dalam hati.

Aku sendiri, berdiri duduk berbaring memar teriris tersabit. Aku berdiri, diam memandang memar, teriris, tersabit, tergores.

Dan aku duduk, masih sama, lalu aku bersujud, masih sama. Hyang Widi memeluk, tergeletak menggeram, sakit.

Aku termenung, dan aku mati tak bernyawa sesudah dini hari.

- Rumah

Share:

Sunday, 13 May 2018

Kemana Aku Pergi?


Dingin senja, hanya itu yang tersisa setidaknya. Aku masih kehilangan gema cahaya. Untuk pulang kepada aku yang nyata. Belum ada jalan pintas ke arah barat daya.

Tempat pertama adalah makna.

Dan kita seperti biasa, hanya sanggup menerka. Abu-abu bukan jingga seperti utara. Debur ombaknya saling menepis-menyeka.

Puisi beserta algoritma berpendar redup. Hampir-hampir kesulitan mencari hidup. Akar semrawut tak punya cukup. Sembari aku terduduk hingga sayup.

Menunggu fajar mengedarkan kenangan, atau gemintang meminang rembulan. Di antah berantah semua kehilangan. Maksud peran diantara guguran-guguran awan.

Aku ingin diam atau terlelap sampai lupa. Kehendak fana kita tidak ada. Tidak terbaca dan terpahami sebab buta.v

Kemana aku pergi?

- Cinemaxx Batos

Share:

Tuesday, 8 May 2018

Mati


Karena yang mati ada untuk di ikhlaskan. Itu kata siapa ya?

Sudahi pertemuan, hentikan salam yang terkirim. Mari berputus kontak, mengecam realita yang sarat guna.

Marahlah jika ingin, kutuklah bila perlu. Kita sudah mati, layaknya daun gugur yang diterpa angin.

Kita hanya perlu berpisah dan tumbuh bersama angin. Cukuplah doa yang menjadi tali penghubung, bersama Pemilik hujan yang menghubung. 

Uraikan mimpi agar kita hidup, agar tak ada lagi yang mati. Biarkan tujuan kita saling menyinggung, saat tiba waktu nanti. 

Mari berhenti, karena kita sudah mati.

- Embong Kembar Kota Batu

Share:

Monday, 7 May 2018

Aku


Bolehkah aku menjadi aku?

Bolehkah aku menulis sastra. Walau aku tak tau sastra?
Bolehkah aku bermonolog. Walau aku payah?
Bolehkah aku berkicau dalam bentuk yang syahdu? Tanpa komedi. Hanya segelintir tulisan yang memanjakan mata.

Aku ingin menjadi aku.
Walau hanya saat ini.

- 7 Mei 2018, Universitas Brawijaya





Share:

Sunday, 6 May 2018

Angan-angan

Kutulis namamu. Tidak disini, tapi di buku harianku. Biarlah tiada seorang pun menahu. Perihal rasa yang menyesakkan ulu.

Masih kutulis namamu. Entah sudah berapa ratus atau ribu. Namun masih saja aku tak jemu. Tetap kutulis namamu.

Masih aku memanggilmu dalam diam. Melangitkan namamu dalam doa malam. Mengikuti kehidupanmu dibalik layar handphoneku yang temaram.

Kata-kata dalam otak ini tak pernah habis. Teruntuk pemilik senyum yang manis. Sayang, tak pernah terbaca barang sebaris. Dan aku hanya bisa menangis, miris.

Kan sudah kubilang, aku ini pengingat yang baik. Tak pernah melupa barang setitik. Karena yang kita lewati, detik demi detik. Selalu kusimpan dengan apik.

Maka kuharap, kamu tak keberatan. Jika namamu selalu kugunakan. Baik tertuang dalam tulisan, maupun kulambungkan dalam angan-angan.

- Hari terakhir di Yogyakarta





Share:

Pengulangan

Jika kau berharap ini tidak akan berulang, kau salah!

Kita belajar mengenai kejadian yang terulang sebagian, seperti roda melakukan perputaran. Lalu kita terus merasakan pegulangan, agar sejalan, maka semuanya dimungkinkan. 

Kita adalah sebuah pengulangan, dari cerita yang lalu-lalang. Seperti hujan yang turun usai gerimis perlahan. Pasti semua disamarkan, lalu dihanyutkan.

Setiap makna mempunyai perangainya, pada setiap kata kau maknai berbeda. Padahal semuanya adalah sama, secara sengaja pengulangan membelai mesra.

Aku lupa bahwa kita tak sejalan, kau benar karena kita bersebrangan. Hanya beradu pandang seperti lawan. Jika kau batasi keadaan, maka pengulangan akan membuatnya kembali sejalan.

Iring-iringan cerita kita tak bertujuan. Jangan kau sebut aku tuan, karena kau pula tak ingin ku sebut sebagai puan. Bukan lagi pengulangan, tapi aku ingatkan bahwa semuanya dimungkinkan.

Jika aku benar, aku telah sengaja menjebakmu pada suatu keadaan. Yang mana aku selipkan beberapa umpatan. Jika kau perduli pada sebuah pengulangan, maka mungkinkanlah sebuah roda berputar sejalan.

Maka semua pengulangan kembali dimungkinkan. Jika kau benar ingin menghentikannya, aku hanya berharap kau bersiap untuk pengulangan berikutnya.

Saat ini pengulangan tengah menggadai maknanya. Siapa saja pasti ingin berlalu, tapi sebisanya kau melaju. Ia akan terus memangsamu, hingga saat kau temukan aku. Pengulangan akan terus memburumu.

- 6 Mei 2018, Sportorium UMY





Share:

Friday, 4 May 2018

Berpamtomim

Jika ada cerita tanpa suara. Kusebut dirimulah penyebabnya.

Jika ada seribu kata tanpa makna. Kusebut dirimulah penulisnya.

Jika ada lagu tanpa tangga nada. Masih, kusebut dirimulah penciptanya.

Kau ada. Memang ada. Namun adamu meniadakan. Karena kau hanya diam. 

Berpamtomim dalam kesendirianmu. Tanpa ada berbuat apa-apa. Hingga dunia pun hanya bisa membisu. Walaupun mentari telah gulita.

- Alive Dinnner, bersama panitia YB lainnya.

Share:

Nikmati Saja



Langit jingga mulai memudar menghiasi langit sore. Ia kembali dalam peraduan bersama pelukan. Dan dongeng malam pun siap dimulai, kata demi kata keluar dari mulut pendusta. Dan, saat itu dimulai langit pun bergemuruh dengan keras, seolah sedang menghantam ketenangan malam. Ataukah itu sebagai pertanda untuk naluriku yang selalu dibodohi?

Oleh si pendusta!

Aku hanya bisa terdiam, lalu diam-diam mengamati wajah tampan yang tega mendustai sebuah arti kesetiaan. Bagaimana bisa, saat fakta rela dibolak balikkan demi membenarkan sebuah kesalahan.

Kini aku mulai berfikir, bagaimana caranya aku pergi dan berlari sekeras mungkin demi meninggalkanmu yang kukasihi. Tak ada rasa yang tega mengkhianati dan membodohi sebuah hati.

Kini kubenci malam yang selalu datang hanya untuk membodohiku, bersama pelukan dan mulut manis yang ternyata tajam. Kamulah sumber kebodohanku yang kini sudah mendarah daging, tertipu adalah makananku. 

Sekarang ku biarkan kau tertawa dengan semua kebohonganmu. Aku aka tetap menikmatinya. 

Tapi jika waktunya tiba untukku. 

Biarkan aku yang menciptakan tangisan sesal untukmu, yang pastinya takkan sanggup kau lupakan.

- Mess Kemensos


Share:

Thursday, 3 May 2018

Kopi Basi

Ada saat kau ingin sepi. Tapi kau hanya diam karena semua orang membutuhkanmu. Ada saat kau ingin keramaian. Tapi kau hanya diam karena semua orang tidak membutuhkanmu.

Ditengah-tengah keramaian, hanya kau yang merasakan senyapnya malam dan dinginnya kalbu.

Dapatkah seseorang mengambil keputusan dengan kepala dingin disaat hatinya sedang bergejolak. Pada dasarnya hati adalah sesuatu yang tenang dan netral. Peristiwalah yang menjadikannya bergejolak.

Gejolak inilah yang menjadikan seseorang hanya mampu melihat satu warna tergantung peristiwa yang terjadi. Sehingga penyesalan adalah duri dalam keputusan yang diambil.

Socrates pernah berkata dunia yang tak dipikirkan adalah dunia yang tak pantas dijalani. Aku adalah duniaku. Aku yang tak dipikirkan adalah dunia yang tak pantas dijalani.

- 3 Mei 2018, Kantor Galang Press bersama Kopi Basi

Share: