Matahari tidak pernah lelah bersinar. Bagaimana pun ia memang tak pernah redup atau mati lampu. Tidak seperti aku yang masih memiliki titik terendah dalam pribadiku. Redup karena kecewa atau terasa mati lampu karena hampa.
Tetes air hujan tidak pernah mengeluh untuk selalu jatuh. Memang air itu mati rasa dan lalu menghilang. Sama seperti sebuah hati, yang semakin lama semakin hilang rasanya kerena harus selalu bangkit dari lara.
Bukan perkara bagaimana semua hal indah dapat kembali lagi. Tapi, semua itu tentang bagaimana kita tidak membentuk masalah itu lagi dan lagi.
Ku katakan pada diriku "aku baik-baik saja". Sesering itu kukatakan dalam hati, yang tidak punya telinga melainkan rasa sendiri.
Coba lihat, dengar, rasakan. Ada apa denganku? atau kamu? Apa ini ulah semesta? atau sugesti dari sebuah logika?
Jika kusalahkan diriku sendiri, hatiku yang merasa kalau aku benar. Jika kusalahkan dirimu, mulutku bisu dan kaku tapi tak membiru.
Apa aku harus pandai menulis untuk menjelaskan sebuah alasan? Atau aku harus pandai bersandiwara untuk bisa berpura-pira?
Jadikan sebuah makna menjadi suatu pembela. Lupakan apa yang sudah tenggelam dan hilang. Namun masa demi masa untuk sekedar tahu bagaimana kita.
Kelak, waktu yang akan menjawab, untuk apa kita, bagaimana kita, sampai mana kita.
Cukup Tuhan yang berikan jalan.
Cukup hati yang merasakan.
Cukup menunggu untuk sebuah ketetapan.
Dan cukup kita yang memutuskan untuk bertahan.
- 22 Mei, a week later birth.
0 comments:
Post a Comment