Wednesday 23 May 2018

Tejo dan Kemarahannya


Sore itu Kota Batu masih seperti biasanya, dingin dan berkabut. Disaat adzan maghrib mulai berkumandang, Tejo telah sigap melangkahkan kakinya menuju masjid yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal. Sesampainya di masjid, Tejo langsung mengambil air wudlu dan berdiam sejenak menunggu sholat maghrib di mulai.

Usai sholat, Tejo keluar masjid untuk mencari angin sembari menunggu kawan-kawannya yang masih berada di dalam masjid. Sesuatu yang lumrah bagi remaja-remaja seumuran Tejo untuk menghabiskan waktu antara maghrib sampai isya di masjid untuk sekedar ngobrol dan basa-basi tidak jelas. Belum satupun kawan Tejo keluar masjid, ada seseorang yang tidak dikenal menghampirinya. Badannya tidak terlalu tinggi. Kulitnya sawo matang. Bibirnya hitam. Menurut perkiraan Tejo, dia berumur sekitar 30-an.

“Assalamu’alaikum, mas”. Sapa orang itu.
“Wa’alaikumussalam.” Sahut Tejo.
“Mas-nya kuliah apa masih sekolah?”
“Ini baru mau masuk kuliah, insya’allah tahun ini”
“Mau kuliah dimana mas?”

Seketika Tejo bingung. Sebenarnya ia bisa saja menjawab kuliah di kampus negeri yang bergengsi seperti UGM dan UB toh hasil SNMPTN juga belum keluar. Tapi ia pesimis karena hasil nilai-nya selama SMA tidak tinggi-tinggi amat. Untuk cari aman Tejo langsung menyahut dengan menyebutkan salah satu universitas swasta milik salah satu ormas besar di Indonesia.

“Kenapa milih universitas itu mas? Bukan karena ormas-nya kan?” Orang itu kembali bertanya.
“Ya nggak papa toh, lah wong saya suka, guru-guru SMA mendukung, orang tua juga meridhoi. Insya allah ridho orang tua itu ridho Allah juga kok”. Jawab Tejo dengan sedikit tersinggung.
“Nanti kalo udah kuliah, mau jadi mahasiswa yang teoritis apa praktis?”
“Ya praktis dong, masak teoritis sih”
“Kalo saya mending jadi yang aktivis mas. Jadi nggak banyak berteori, tapi langsung melakukan aksi yang pasti. Ibaratnya tuh seperti menanam pohon, dirawat dengan sabar sampai membuahkan hasil. Nah itu namanya aktivis mas, melakukan hal yang sudah pasti. Kalo teoritis mah ibarat menawarkan pohon, cuman ngomong A, B, C tapi nggak ada langkah kongkritnya”

Tejo memasang muka masam. Sebenarnya ia ingin marah, tapi mencoba untuk sabar. Orang itu memberikan pilihan antara teoritis dan praktis. Tapi malah memberikan bantahan dengan hal yang bukan dari keduanya. Apa sih maunya orang itu, pikir Tejo. Selang beberapa lama, orang itu kembali mencerocos. Kali ini bukan lagi pertanyaan, melainkan curhatan.

“Mas, saya ini udah lulus kuliah, udah kerja, dan aktif di salah satu ormas. Tapi ada satu cita-cita saya yang belum tercapai. Yakni menyatukan semua ormas dibawah satu naungan bendera. Jadi tidak ada Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, HTI, dan lain sebagainya. Semuanya menjadi satu komando. Bapak saya itu orang NU, mas. Saya udah berkali-kali mengajaknya untuk keluar dari NU tapi bapak saya tetap keras kepala dan bahkan memarahi saya. Dari SMP sampai SMA saya juga mondok di pesantren Muhammadiyah, tapi saya selalu bolos ketika ada pelajaran Kemuhammadiyahan. Ya untungnya saja saya masih bisa lulus.”

Kali ini Tejo benar-benar naik pitam. Ingin sekali meluapkan amarahnya yang telah memuncak tapi apa daya, ia sedang berada di masjid. Tidak etis apabila terjadi pertengkaran di dalamnya. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti, orang yang tidak dikenalnya itu berpikiran sangat idealis tapi tidak masuk akal. Tidak mungkin membubarkan ormas-ormas yang bahkan sudah ada sebelum Tejo dan orang itu lahir. Beruntung sekali Tejo langsung teringat salah satu hadis yang ia pelajari di pondok pesantren. Bahwasanya nanti umat islam akan terpecah menjadi beberapa golongan, dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dengan elegan ia memotong curhatan orang itu.

“Ngapunten nggeh, tujuan mas buat menyatukan semua ormas itu keren. Tapi mas pernah ngga sih denger hadis tentang umat islam yang terpecah menjadi beberapa golongan, dan hanya satu yang masuk surga? Sudah pernah denger belum mas? Kalau belum denger tak kasih tahu nggeh. Nah kira-kira kalo mas-nya menyatukan semuanya bakalan jamin masuk surga?”

Belum sempat menjawab, adzan isya sudah berkumandang. Dan Tejo langsung masuk kembali kedalam masjid tanpa ingin tahu jawaban orang itu tadi.

- Edisi Draft Mojok


Share:

0 comments:

Post a Comment