Sore itu Kota Batu masih seperti biasanya, dingin dan
berkabut. Disaat adzan maghrib mulai berkumandang, Tejo telah sigap
melangkahkan kakinya menuju masjid yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal.
Sesampainya di masjid, Tejo langsung mengambil air wudlu dan berdiam sejenak
menunggu sholat maghrib di mulai.
Usai sholat, Tejo keluar masjid untuk mencari angin sembari
menunggu kawan-kawannya yang masih berada di dalam masjid. Sesuatu yang lumrah
bagi remaja-remaja seumuran Tejo untuk menghabiskan waktu antara maghrib sampai
isya di masjid untuk sekedar ngobrol dan basa-basi tidak jelas. Belum satupun
kawan Tejo keluar masjid, ada seseorang yang tidak dikenal menghampirinya.
Badannya tidak terlalu tinggi. Kulitnya sawo matang. Bibirnya hitam. Menurut perkiraan
Tejo, dia berumur sekitar 30-an.
“Assalamu’alaikum, mas”. Sapa orang itu.
“Wa’alaikumussalam.” Sahut Tejo.
“Mas-nya kuliah apa masih sekolah?”
“Ini baru mau masuk kuliah, insya’allah tahun ini”
“Mau kuliah dimana mas?”
Seketika Tejo bingung. Sebenarnya ia bisa saja menjawab
kuliah di kampus negeri yang bergengsi seperti UGM dan UB toh hasil SNMPTN juga
belum keluar. Tapi ia pesimis karena hasil nilai-nya selama SMA tidak
tinggi-tinggi amat. Untuk cari aman Tejo langsung menyahut dengan menyebutkan
salah satu universitas swasta milik salah satu ormas besar di Indonesia.
“Kenapa milih universitas itu mas? Bukan karena ormas-nya
kan?” Orang itu kembali bertanya.
“Ya nggak papa toh, lah wong saya suka, guru-guru SMA
mendukung, orang tua juga meridhoi. Insya allah ridho orang tua itu ridho Allah
juga kok”. Jawab Tejo dengan sedikit tersinggung.
“Nanti kalo udah kuliah, mau jadi mahasiswa yang teoritis
apa praktis?”
“Ya praktis dong, masak teoritis sih”
“Kalo saya mending jadi yang aktivis mas. Jadi nggak banyak
berteori, tapi langsung melakukan aksi yang pasti. Ibaratnya tuh seperti
menanam pohon, dirawat dengan sabar sampai membuahkan hasil. Nah itu namanya
aktivis mas, melakukan hal yang sudah pasti. Kalo teoritis mah ibarat
menawarkan pohon, cuman ngomong A, B, C tapi nggak ada langkah kongkritnya”
Tejo memasang muka masam. Sebenarnya ia ingin marah, tapi
mencoba untuk sabar. Orang itu memberikan pilihan antara teoritis dan praktis.
Tapi malah memberikan bantahan dengan hal yang bukan dari keduanya. Apa sih
maunya orang itu, pikir Tejo. Selang beberapa lama, orang itu kembali
mencerocos. Kali ini bukan lagi pertanyaan, melainkan curhatan.
“Mas, saya ini udah lulus kuliah, udah kerja, dan aktif di
salah satu ormas. Tapi ada satu cita-cita saya yang belum tercapai. Yakni
menyatukan semua ormas dibawah satu naungan bendera. Jadi tidak ada
Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, HTI, dan lain sebagainya. Semuanya menjadi satu
komando. Bapak saya itu orang NU, mas. Saya udah berkali-kali mengajaknya untuk
keluar dari NU tapi bapak saya tetap keras kepala dan bahkan memarahi saya.
Dari SMP sampai SMA saya juga mondok di pesantren Muhammadiyah, tapi saya
selalu bolos ketika ada pelajaran Kemuhammadiyahan. Ya untungnya saja saya
masih bisa lulus.”
Kali ini Tejo benar-benar naik pitam. Ingin sekali meluapkan
amarahnya yang telah memuncak tapi apa daya, ia sedang berada di masjid. Tidak
etis apabila terjadi pertengkaran di dalamnya. Ia sungguh-sungguh tidak
mengerti, orang yang tidak dikenalnya itu berpikiran sangat idealis tapi tidak
masuk akal. Tidak mungkin membubarkan ormas-ormas yang bahkan sudah ada sebelum
Tejo dan orang itu lahir. Beruntung sekali Tejo langsung teringat salah satu
hadis yang ia pelajari di pondok pesantren. Bahwasanya nanti umat islam akan
terpecah menjadi beberapa golongan, dan hanya satu golongan yang masuk surga.
Dengan elegan ia memotong curhatan orang itu.
“Ngapunten nggeh, tujuan mas buat menyatukan semua ormas itu
keren. Tapi mas pernah ngga sih denger hadis tentang umat islam yang terpecah
menjadi beberapa golongan, dan hanya satu yang masuk surga? Sudah pernah denger
belum mas? Kalau belum denger tak kasih tahu nggeh. Nah kira-kira kalo mas-nya
menyatukan semuanya bakalan jamin masuk surga?”
Belum sempat menjawab, adzan isya sudah berkumandang. Dan
Tejo langsung masuk kembali kedalam masjid tanpa ingin tahu jawaban orang itu
tadi.
- Edisi Draft Mojok |
0 comments:
Post a Comment