Friday, 24 August 2018

Candu


Aku marah karena candu kata-katamu. Tak tahu darimana tapi ia membius. Menembus masuk hingga sakit. Cukup sakit untuk ku minta lagi dan lagi. 

Aku marah karena candu kata-katamu. Tak tahu bagaimana tapi ia menusuk. Merasuk diksi hingga jadi gila. Cukup gila untuk ku minta lagi dan lagi. 

Aku marah karena candu kata-katamu. Hingga aku tau bagaimana ia palsu. Mengikat mu erat hingga kamu tahu. Perlahan ia menang. Dan membunuhku. Katamu.

- Jagung Kelok Pujon, bersama Memel


Share:

Pemimpi


Aku bukan yang terpandai. Aku bukan yang tercakep. Aku bukan yang terhebat. Aku bukan yang sempurna. Bukan pula yang beruntung. 

Aku tak pernah mudah jalani setiap langkah. Tuhan tak izinkan itu. Aku mendagi cara terjal. Ketika yang lain retas sederhana. Ketika yang lain telah dapat yang mereka mau. Tuhan ingin aku masih terus berusaha. Ketika yang lain telah menari di atas awan. 

Aku hanya punya harapan-harapan. Aku hanya punya tekad. Aku hanya punya doa-doa. Aku hanya punya keberanian. Aku hanya punya cira-cita. Aku hanya bersama jerih payahku. Aku berharap melihat pelangi. Aku berharap melihat warna-warni. 

Dari hariku yang selalu hitam atau putih. Aku berharap bisa melukis senyum di wajahku sendiri. Aku berharap asaku terbayar. Aku berharap keringatku mongering. Berganti sinar cemerlang. 

Tapi mereka bilang. Aku pemimpi. Mereka bilang itu semu. Mereka bilang itu tak mungkin. Mereka bilang aku tak tahu diri. Karena berkhayal terlalu tinggi. Mereka mengelus punggungku dan berkata. 

Aku harus lapang dada. Aku harus merelakan. Menyadari. Merendahkan diri. Bahwa aku Cuma sedang bermimpi. Mereka memandangku dengan iba. Mereka berbelas kasihan. Mereka menarikku kebawah. Memaksaku jatuh. 

Aku terdiam. Menganggukkan kepala. Berbohong pada diri sendiri. Bahwa aku memang seorang pemimpi. Aku pemimpi yang memiliki harapan besar. Cita-cita besar untuk diraih. 

Dengan mimpi-mimpi itu akan kubuka pintu-pintu. Yang kata mereka tak mungkin. Karena aku seorang pemimpi akan kurawat jiwaku dalam mimpi-mimpi baikku yang senantiasa terjaga. 

Akan kubiarkan diriku ini hidup dalam mimpi yang membuatku bertekad untuk mewujudkannya. Lihatlah orang-orang besar. Bukankah mereka pemimpi juga? Mereka ditertawakan. 

Mereka lakukan hal yang orang bilang tak mungkin. Tapi mereka bertahan hidup didalamnya. Lalu mewujudkan mimpi-mimpi itu. Akan kulakukan hal yang sama. Karena aku memang seorang pemimpi. Yang akan lahir menjadi pelangi.

- Krewul Coffee, 25 Agustus 2018


Share:

Thursday, 23 August 2018

Tertinggal


Kala itu, aku menemukan sebuah rahasia dalam dua bola mata. Tatapmu seolah menunjukkan cerita. 

Tentang rasa yang tertinggal. Tentang angan yang tak mampu kau gapai. 

Aku tak mampu berkata. Karena aku tak pernah ada dalam cerita.

- Jalitbar, bersama Intan dan Arsa


Share:

Tuesday, 21 August 2018

Ujung Cakrawala


Kedamaian tanpa batas di ujung cakrawala. Kita menikmati pemandangan hidup dari pelataran surge. 

Melihat insan yang tak pernah lelah. Bercinta melawan arah kiblat. Berusaha keras menyantap titik-titik bahagia. Yang tersedia dalam sudut pandang. Tuhan yang kita anggap berbeda nama, menatap lembut kecupan sore hingga mebuat perangah hebat di mata cakrawala. 

Senja perlahan menghilang dari garis cakrawala. Semoga kamu tidak. Kau tahu? Seberapa jauh pun kita. Tetap. Kau milikku, dan kumilikmu. 

Sama halnya senja perlahan menghilang di ujung cakrawala. Tapi tak kenal lelah esok ia kembali. Ya. Kau dan aku pun begitu, esok, lusa dan sampai kapan pun akan kembali menyatu. 

Selama kau menggegamku, dan ku menggegammu, serta campur tangan Tuhan.

- Omahe Munir, bersama Dawam, Ijaz, Bazi dan Rambu

Share:

Relung


Riang relung. Bergemuruh. 
Ramai suar. Bergelora.
Hati rindu. Bibir kelu.
Malu ragu. Menyuara. 
Riak meronta dikala sunyi. 
Genggam sendu. 
Terasa semu.

- Bazaar Kawi, 19 Agustus 2018 bersama Kopi Pait

Share:

Saturday, 18 August 2018

Bertaruh Aksara


Aku akan menjadi pandai membaca maksudmu. Tak rumit. Hanya perlu waktu menela’ah dirimu. Engkau berkata seakan mencintaiku dengan penuh. Tapi nyatanya kau selalu memberi resah dalam tabu. 

Aku ini seperti. Berduka disetiap waktu. Apa yang telah tiada, macam terbunuh. Ucapmu seakan menghantui dalam halu. Untaian yang membisu semakin kelu membiru. Seperti senja, menyambut malam. Seperti kabut, menyambut pagi. Sifatmu sementara dan akan kelam. Saat ini dan esok hanya aku sendiri. 

Dalam sebuah aksara, aku bertaruh.  Dalam sebuah prosa, aku menjamu. Aku tak sekejam sejahat itu. Kuberi spasi seperti, inginmu. Tanpa koma atau tanda seru. Meski mauku kau dan aku adalah titik temu.

- Equal Cafe, Agustus 2018


Share:

Thursday, 16 August 2018

Ada Ngga Sih?


Ada ngga sih, balasan yang setimpal bagi mereka yang perlakuin orang lain itu seenaknya dan diterima lapang dada tanpa perlawanan sedikitpun dari orang itu? 

Ada ngga sih, mereka pernah kepikiran buat berhenti berlaku bodoh yang bahkan kita bisa menyebutnya lebih dari sampah? 

Ada ngga sih, kesempatan mereka buat nyadar dan berubah dari kelakuannya yang menjijikkan itu? 

Bahkan untuk melek pun mereka ngga sudi. Karena mereka merasa, merekalah yang paling hebat. Merekalah yang paling berkuasa. Merekalah yang paling ditakuti. Padahal tanpa kami, orang yang ditindas. Kalian itu bukan apa-apa. 

Tolong, dunia itu bulat. Berputar terus menerus. Anda nga selamanya diatas, dan selamanya kami ngga akan dibawah terus. Dan, dunia ngga berputar di anda saja. Ngga semua kemauan anda bisa dituruti. Jadi jangan pernah mencoba mendikte orang lain kalo anda sendiri ngga mau didikte.


- Mbak Inge, Agustus 2018
Share:

Wednesday, 15 August 2018

Tidak Untuk Manusia #2

Hmm. Lama tidak merasakan dinginnya jalan pegunungan Kota Batu. Akhirnya keturutan juga. Kali ini bersama temanku, seorang perempuan yang juga mahasiswa baru dan sejurusan dengan aku. Ya saat itu adalah kali ketiga aku bertemu dengannya.

Menikmati kopi dan jagung, di daerah kelok Payung sambil melihat pemandangan Kota Batu dari atas awan. Basa-basi apa saja yang sekiranya bisa keluar dari mulut. Sambil sesekali menghisap rokok Halim langgananku.

Tak lama kemudian, dia membuat story Instagram. Didepanku, bahkan wajahku juga distory. Jujur, aku tidak mempersalahkan story itu. Yang aku tidak setuju adalah hal yang dia lakukan setelah itu. Yups, dia me-hide story itu dari beberapa akun Instagram. 

Aku melihat dengan jelas, ketika dia menyembunyikan story dari beberapa cowok. Yang entah itu siapa. Temannya kah. Bribikannya kah. Tidak tahu. Yang kutahu saat itu dia baru saja putus dari pacarnya. Ya sedikit gila sih, bisa tahan LDR 2 tahun. Bahkan belum pernah bertatap muka secara langsung dengan pacar yang kini jadi mantan tersebut.

Secara tidak langsung, aku berpikir bagaimana jika dia jalan dengan orang lain. Kemudian membuat story Instagram, pasti akan ada kemungkinan dia me-hide story dari orang lain lagi. Artinya dia bebas dan tidak ingin diketahui perilakunya dari orang-orang tertentu yang dia pilih. 

Lalu bagaimana jika dia pacaran. Bisa saja dia selingkuh dan kemudian me-hide storynya. Sebenarnya aku sih tidak masalah, hanya saja dia melakukan itu didepan mataku persis. Yang otomatis itu menunjukkan sifat aslinya. Jadi yaa, pikir kembali lah.

Share:

Monday, 13 August 2018

Menceritakan Masa Lalu


Kamu itu jangan diam di tengah upacara pemakaman. Kamu pasti kalah khusyuk. 

Kamu jangan coba-coba melupakan ditengah orang-orang putus asa. Kamu pasti kalah sengsara.

Kamu jangan pernah mejauhi siapapun ditengah-tengah gunung. Kamu pasti kalah dingin. 

Kamu jangan mengeluarkan air mata ditengah-tengah sungai. Malu, kamu pasti kalah deras. 

Kamu jangan cerita masa lalumu ke para sejarahwan. Pasti kamu kalah tua. 

Tapi silahkan kamu menangis di upacara pemakaman agar kau tau bagaimana khusyuknya. Silahkan kamu diam ditengah-tengah orang putus asa. Nanti kamu tau perasaannya. Kamu juga boleh melupakan seseorang di guung, karena ia memberikan kenyamanan yang tak tergantikan. Dan kamu boleh menjauhi seseorang di sungai, agar pikiranmu jernih dan pengaruh buruknya terbawa arus. 

Lalu, kepada siapa kamu harus menceritakan masa lalumu? Buah hatimu kelak yang akan tau sejarah hidupmu semasa muda.

- Kopi Sawah, Agustus 2018

Share:

Saturday, 11 August 2018

Tidak Untuk Manusia #1

Sudah menjadi tradisi. Kebiasaan mahasiswa baru ketika jadwal kuliah belum muncul adalah ngopi. Tiap malam. Tak peduli kondisi kantong sedang tipis maupun tebal. Yang penting ngopi dan srawung. Mencari kawan sebanyak-banyaknya sebelum menjalani rutinitas sibuk di kampus.

Nah, malam ini. Aku mendapatkan pengalaman menarik sekaligus menegangkan. Sehabis ngopi di Kopi Asri. Aku dan kawan-kawanku berencana menonton balap liar di depan Batu Town Square. Jarak yang lumayan jauh jika ditempuh dari jalan Soekarno Hatta, Malang. 

Kebetulan juga hari ini adalah 11 Agustus 2018. Klub kebanggaan arek Malang, Arema sedang berulang tahun. Sedang milad. Ya seperti biasanya, ada konvoi keliling kota. Kebetulan juga Arema sedang tanding. Baik Arema FC maupun Arema Indonesia. 

 Sepanjang perjalanan, kami berkendara pelan-pelan. Maklum lah udara Malang dan Batu ketika malam memang tidak bersahabat. Singkat cerita, di daerah Sengkaling. Salah satu temanku yang mengendarai motor Ninja membelokkan motornya dan berada disampingku motor.

Masalahnya, dia membelokkan motor secara mendadak dan tidak melihat spion. Spionnya diputer kebawah. Ya tidak fungsi juga sih. Dan tak disangka dibelakangya ada motor yang melaju kencang. Secara otomatis motor tersebut nge-rem mendadak dan sedikit oleng. Untung saja tidak sampai nabrak dan jatuh.

Kemudian motor yang nge-rem mendadak tersebut marah. Tidak terima dan menghentikan rombongan kami. Ternyata pengendara motor tersebut adalah Aremania dan dalam posisi mabuk berat. Mereka marah-marah dan membanting helmnya. Sampai pecah.

Kami yang awalnya tidak tahu masalahya apa sempat bingung. Dan parahnya, temenku yang naik Ninja malah gas terus. Kabur. Otomatis tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan menyelesaikan masalah tersebut. Yang pada akhirnya, masalah dapat diselesaikan secara baik-baik.

Sebagai seorang pria, lari dari masalah adalah perilaku pengecut. Jika di-analisis, kami memang menang secara kuantitas, mereka hanya berdua, sedangkan kami rombongan banyak. Dan mereka hanya mengandalkan lokasi, karena memang disanalah tempat tinggal mereka. 

Seharusnya, pria sejati mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Toh setidak-tidaknya tidak kabur. Toh juga kalo semisal diselesaikan secara fisik, teman-teman yang lain juga bakalan membantu. Bukan malah pergi seolah tidak terjadi apa-apa.

Meskipun dalam teori jalanan, bahwa melawan orang mabuk akan sia-sia. Ya aku pikir tidak masalah juga. Lumayan bisa buat adu debat dan adu fisik gratisan. Tapi ya mau gimana lagi, cinta damai kok ya wgwg.

Share:

Friday, 10 August 2018

Cahaya Api


Pelukan adalah candu bagi yang tak mampu mengisyafi rindu. 

Batin adalah kecamuk diri yang remuk meminta masuk. 

Meronta-rpnta tanpa ada suara tangis atau tawa. 

Ia hanya tahu hatinya tak mampu sebab sendu. 

Dan hampa begitu merdu. 

Menjadi-jadi cahaya api tetapi reda setelah pagi.

- Sekitaran Malang, unlimited bersama Jeje, Rafli, Abduh, Bazi dan Rambu

Share:

Monday, 6 August 2018

Tujuan


Bukannya naif, hanya merasa sebersyukur itu dipertemukan semesta, diperkenalkan, dibuat sedemikian dekat ini sehingga rasa ini tumbuh. Dusta jika aku mengaku tidak bahagia, 

Bagaimana mungkin? Tawa ini pernah beralasan kamu. Dan jangan lupakan desir hangat ini juga merupakan tanggung jawabmu. Semesta memang tak pernah tanpa maksud mempertemukan orang. 

Atas izin semesta pun, dua jiwa yang terluka diperkenankan menyembuhkan satu sama lain. Entah disadari atau tidak, seharusnya sampai disitu saja. “apanya?”. “semuanya”. Tidak ada yang harus dipaksakan jika memang bukan jalannya. 

Tidak ada yang harus dilanjutkan jika memang pada akhirnya aka nada yang tersakiti.”coba kalau..” Sering bertanya-tanya pada hati. Mengapa sering kali berandai akan sesuatu tak pasti. 

Sering menciptakan imaji semu yang mengundang sendu. Meski ada serratus alasan untuk tetap bersama. Semesta punya seribu alasan memisahkan. Dan memang pada akhirnya alasan aku hadir hanya sebagai jalan, bukan tujuan

- Batu Wonderland, bersama Muthim, Cahyo dan Rambu

Share:

Friday, 3 August 2018

Sejenak


Kita dipertemukan oleh jejaring maya tanpa sengaja. Lewat jemari yang beradu, terciptalah cakap singkat antara kau dan aku. 

Masih teringat jelas malam itu. Di atas meja kedai kopi temanmu, pertama kali kita berdua bersua. Kali kedua kita bercanda ditemani jajanan angkringan yang kau suka. Hingga dingin subuh mulai terasa. 

Tak selang lama, lagi-lagi kita berjumpa. Kau seduhkan kopi untuk pertama kali. Bercakap ria hingga usiamu bertambah lagi. Tak sekali dua kali saat terlintas di pikiran, kau tiba-tiba menghubungi. 

Dari secangkir kopi hingga semangkuk bubur Kosambi. Tak mau banyak kata, hanya ingin menikmati. Secangkir kopi lagi dan segelas the melati, serta baju hangat yang pinjamkan mampu mengusir dingin subuh ini. Kaki pun tak lelah melangkah bersama di pagi hari menuju ujung jalan Soekarno Hatta. 

Baru kali ini aku tak ingin pulang berlama-lama. Seakan tak rela meninggalkan Malang bila ada kau didalamnya. Rindu aroma kopimu di kalan dingin Malang menyelimuti tubuh. Terlintas ingin pergi, curiga rasa ini hanya sejenak singgah. 

Melihat gerakmu yang berangsur berubah. Haruskah aku mengaku saja sebelum semua semakin biasa. Atau memang ini tipu daya dari hati yang baru saja terluka. 

Malam itu, kembali lagi hingga pukul empat pagi. Masih pula kau yang selalu peduli, mengantarku sampai di sini. Oh ya, terima kasih baju hangatmu sekali lagi. Baju hangat itu mengantarku sampai mimpi. Sungguh tak ingin kembali, biar saja menemaniku sampai nanti. 

Lalu kenapa mendadak kau begitu. Hanya sekata kau balas pesanku. Bosankah kau denganku. Tak mau tenggelam jauh aku pun mundur, kembali ke permukaan. Sampai akhirnya aku melihat di seberang sana, kau telah bersama sosok laki-laki.


- Ayu Tantri Cafe and Music, bersama Intan, Renata, Arsa, Daffa

Share: