Friday 18 November 2016

Menyundul Indonesia

Melanjutkan dari tulisan saya tentang Dutch Disease, jadi, Indonesia memang belum sepenuhnya terjangkit penyakit ini, tapi kita sedang berada di dalam prosesnya.
Di Indonesia sendiri Syndrom “penyakit Belanda” banyak ditemukan dalam kasus eksplotasi SDA di luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Daerah yang mengalami eksploitasi tambang paling parah adalah Kalsel dengan batu bara-nya, Kaltim dengan gas dan batu bara, Papua dengan tambang tembaganya, dan Sulsel dengan nikel-nya. 
Tidak bisa dipungkiri, sekitar 70 persen output perekonomian Papua disumbangkan hanya oleh satu perusahaan pertambangan, yaitu PT Freeport. Sementara kontribusi industri pengolahan masih relatif kecil atau bahkan mengalami deteorisasi. Pertumbuhan sektor pertambangan jauh lebih besar dibandingkan sektor industri pengolahan berbasis pertanian 
Demikian juga dengan Sulawesi, khususnya Sulsel dan Sultra yang mengandalkan komoditas pertambangan nikel. Perusahaan nikel terbesar di Sulsel adalah PT Inco dengan konsesi lahan yang sangat luas dan berjangka panjang. Ekspor utama Sulsel ke sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir sangat bergantung pada satu komoditas saja, yaitu nikel. 

Perekonomian Sulsel belum juga bergerak ke industri berbasis SDA. Secara sektoral perekonomian Sulsel masih sangat didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian. Sektor industri pengolahan masih tercecer di belakang dan bahkan mengalami proses pelambatan dengan pertumbuhan yang lebih kecil dibanding sektor lainnya.
Kecenderungan yang lebih parah lagi terjadi di Kaltim, yaitu eksploitasi tambang besar-besaran hanya menyisakan problem lingkungan yang serius. Banyak yang memprediksi bahwa suatu saat Kaltim akan menjadi daerah miskin ketika rezeki migas sudah mulai menipis. Pemerintah lalai atau alpa dalam menggerakkan sektor industri manufakturnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam. Contoh negara yang telah berhasil mengatasi hal tersebut dan menjadikan kekayaan alam sebagai pemicu pertumbuhan negara adalah Norwegia.




Yaya, mari kita mengkoreksi diri kita.
Yang jelas, sumber daya manusia itu lebih penting dari sumber daya alam, lihat Singapura yang tidak punya apa-apa tapi kaya raya.

Dan label “negara kita sebenarnya kaya” itu hanya membuat kita “manja”, karena anggapan seperti itu hanya menghasilkan pola imajinatif yang bikin kita terpaku pada nostalgia 
Nostalgia itu untuk orang tua, generasi muda mari buat sejarah baru untuk Indonesia!

Regards from perspekter
Share:

0 comments:

Post a Comment