Thursday 2 January 2020

1 Januari 2020


Selamat menua umur dunia versi Masehi.

Aku hanya tidur beberapa jam. Sengaja kulakukan karena takut terlewat. Paginya aku ada janji pergi ke Mojokerto. Menjemput Anabele, sekalian srawung ke kediaman Ibnu. Dan ternyata mereka berdua dulunya satu sekolah ketika SMA. Dunia memang selebar daun kelor.


Pukul 9 pagi aku berangkat, mengendarai N-Max nya Verrel, sepedaku belum service, kukira ga bakal kuat kalau dipakai ke Mojokerto lewat Pacet. Jadi cari aman saja. Lagipula lampu kotaku masih mati. 

Jalanan Pacet sungguh eksotis. Pegunungan, lembah, memikat mata manusia. Keajaiban alam yang wajib dijaga. Beruntung sekali masih bisa menikmatinya. Kabut putih tak meragukanku untuk terus melangkah. Dengan keterbatasan mata, ditambah biasnya pandangan karena kabut, membuatku semakin bersemangat menyusuri tiap tapak jalan.

Tak perlu waktu lama, jam 11 sampai juga dirumah Iib. Istirahat sebentar. Mengistirahatkan pantat yang mulai pegal karena 2 jam duduk di jok. Selepas itu aku pergi ke rumah Anabele bersama Ibnu dan bertemu orangtuanya.

Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah Ibnu. Rumah yang sederhana. Seperti rumah masyarakat desa pada umumnya. Foto-foto momen keluarga terpampang di setiap sudut tembok ruang tamu. Dokumentasi memang masih menjadi hobi tiap keluarga di Indonesia.

Ibunya membuatkanku kopi hitam panas. Sebenarnya aku tak terlalu ngantuk. Tapi tidak apa-apa, butuh pondasi yang kuat untuk sebuah perjalanan jauh. Ya, setidaknya jauh menurut kacamataku.

Pulangnya aku dan Anabele melewati jalan yang sama ketika aku berangkat. Ia sedikit cemas karena pacarnya sedang nongkrong di salah satu cafe di daerah Pacet. Ia jadikan kain jilbabnya untuk menutupi sebagian wajahnya. Dan menurunkan kaca helm. Memalingkan wajah setiap melewati cafe di kanan atau kiri jalan. Semua berjalan lancar tanpa hambatan.

Sempat mampir juga di warung bakso, warung kopi dan masjid. Bukan masalah lapar, tapi tangan dan pantat ini ternyata juga butuh istirahat. Manusia tak sekuat yang aku kira. Sekalipun berakal, tak menjadikannya lebih hebat dari seekor binatang-pun.

Kami sampai di Malang lebih cepat dari biasanya. Dan aku langsung istirahat. Memejamkan mata sambil bergumam begitu baiknya aku. Tak memandang siapapun dia, kalo aku kesempatan membantu, kulaksanakan. Aku tak berharap mereka membalas kebaikanku. 

Kalaupun mereka membalas, ya alhamdulillah. Kalaupun tidak, tak menjadi masalah. Semua begitu fleksibel. Tapi, ada satu hal yang perlu diingat. Jangan menjatuhkanku di hadapan banyak orang. 

Sulit muncul kata maaf untuk perlakuan seperti. Bukan berarti tak mungkin.


Share:

0 comments:

Post a Comment