Sunday 5 January 2020

5 Januari 2020

Senja ku hari ini kuhabiskan di komisariat ter-biasa saja. Rapat panitia teknis. Tak mungkin aku meninggalkannya. Jabatan ketua pelaksana mewajibkan ku untuk datang dan memimpin jalannya rapat. Harusnya aku mengatur jalannya rapat berdua, tapi Mba Icha, sekpel Tadabbur Alam sedang berhalangan hadir karena terjatuh di kamar mandi. 

Rapat berjalan tak terlalu lama. Hanya saja menunggu kehadiran teman kolektif yang membuatku kesal. Rupanya tepat waktu hanyalah utopis belaka. Semua bakal molor pada waktunya. Sudah menjadi hukum alam sepertinya.

Malamnya aku menepati janji Anabele untuk mengajaknya nonton film Lorong. Kujemput ia di kosnya dan pergi ke rumah saudaraku di deket kampus. Penghuni rumah tersebut sedang liburan ke Bali, dan kebetulan saja aku membawa kuncinya. Daripada kosong kugunakan saja untuk nonton film.

Mampir sebentar ke warung pinggir jalan untuk membeli pemuas kebutuhan biologis manusia. Makanan dan sebotol air. Kurang seru memang ketika nonton hanya terfokus di layar. Butuh gimmick-gimmcik lain agar suasana menjadi riang.

Sial saja, film Lorong ternyata belum ada di internet. Terpaksa kami nonton film yang lain. Phi Mak dan Jakarta Undercover. Horror dan thriller, dua genre yang memikat alur bernalarku. Khusus untuk Jakarta Undercover, aku jadi teringat suasana Malang dibalik layar. Pesta, minuman keras, narkoba, balapan liar, dan prostitusi. Kukira tabiat seperti itu tidak hanya di Jakarta saja, hampir di semua kota-kota besar -- yang sudah menikmati revolusi industri 4.0 -- pasti ada. 

Malam ini pula Anabele menyadari bahwa keyboard laptopku rusak karena beberapa hari yang lalu terkena tumpahan susu. Ia sempat menawarkan untuk mereparasinya, tapi kutolak. Bukan masalah konsekuensi, tapi tenggang rasa yang kumiliki. 

Ia minta maaf. Aku juga minta maaf. Sekalipun aku tidak bersalah. Aku takut kehilangan. Kehilangan ikatan emosional yang susah payah terbangun. Riak setitik jangan sampai merusak susu sebelanga.

Disisi lain, hari ini aku membuka chattingan dengan Alliya. Partner organisasiku. Seringkali aku menggodanya ketika bertemu. Bukan menaruh rasa, hanya saja aku merasa senang ketika merayunya. Maklumlah, pejantan tangguh.

Tiba-tiba ia memberikan pernyataan bahwasanya aku 'bacot'. Tak abis pikir, Orang sekalem aku saja dibilang bacot. Ketika kutanya apa alasaanya, ia menjawab pikir saja sendiri. Refleksikan. Aih tai kucing. Untung kamu Alliya. Kalau bukan, sudah kublokir kontakmu.


Share:

0 comments:

Post a Comment